Kamis, 25 September 2008

Lagi, Aktivis AKKBB Picu Keributan, Sewa Preman Bawa Senjata Tajam

HTI-Press. Sidang pengadilan kasus Munarman dan Habib Rizieq kembali digelar hari ini, Kamis (25/09/08). Sementara di luar sidang terjadi bentrokan akibat provokasi dari massa AKKBB. Kembali upaya memecah belah kelompok Islam, antara Banser dengan FPI. Menurut Habib Rizieq, ada preman-preman yang disewa berpakaian banser sejak pagi sudah nongkrong sambil merokok.

"Guntur menyewa preman-preman yang berpakaian Banser sejak pagi sudah nongkrong, sambil merokok. Preman ini bukan Islam. Jadi kita buktikan ini orang yang ingin memancing-mancing. Kejar juga orang-orang yang di belakang mereka seperti Adnan Buyung," papar Habib Rizieq.

Ia menyampaikan hal tersebut dalam jumpa pers di Masjid PN Jakarta Pusat, Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat, Kamis (25/9/2008), menyikapi bentrokan di depan PN Jakarta Pusat antara massa FPI dengan AKKBB. Habib Rizieq tampak didampingi Komandan Laskar Islam Munarman.

"Kami akan melaporkan Guntur Romli karena anarkis, adu domba, fitnah dan upaya pembunuhan terhadap murid-murid saya. Jadi saya minta pihak kepolisian untuk mengejar mereka," kata Habib Rizieq.

Habib Rizieq mengaku bingung atas ulah aktivis AKKBB Guntur Romli yang sengaja memancing keributan. Rizieq bercerita, Guntur bersama preman yang dilengkapi senjata tajam datang ke PN Jakarta Pusat lalu menghina etnis anggota FPI. Bahkan Guntur Romli sempat mengeluarkan ancaman akan membunuhnya.

"Dia menunjuk salah satu murid saya yang keturunan Arab, namanya Ali. Dia dicaci maki, dihina etniknya dan diancam akan dibunuh," katanya.

Kejadian bermula, ketika pada jam istirahat Sholat Dzuhur salah satu anggota FPI Habib Ali Al-Hamid yang secara rutin mengikuti perkembangan persidangan Habib Rizieq, memasuki halaman gedung PN Jakarta Pusat, dihampiri oleh Guntur Romli. Kemudian, Habib Ali menerima ancaman akan dibunuh, dam cacian yang menghinanya sebagai seorang keturunan etnis Arab.

"Orang yang bersama dia (Guntur Romli) menyenggol-nyenggol saya dan itu terjadi dihadapan aparat, saya tidak tahu tapi sempat terjadi dorong-dorongan antara saya dengan dia. Guntur Romli juga menuding-nuding saya, seolah-olah akan memancing emosi saya," katanya saat berikan keterangan kepada pers, di Masjid PN Jakarta Pusat.

Untuk membuktikan omongannya soal senjata tajam, Rizieq lalu memanggil 3 anggota FPI yaitu Edo, Tommy, Junaedi. Salah satunya mengalami luka bekas sabetan senjata tajam.

"Telinga sebelah kanan kena clurit. Ada yang pipi sebelah kanan luka berdarah. Ada juga tangan sebelah kanan bengkak," jelas Habib.***

Syabab.Com

NEW INFORMATION.



Apa Itu Khilafah

Tolong kereksinya!


Apa Itu Khilafah (Bagian 1)

Khilafah Adalah Negara Yang Kedaulatannya Berada Di Tangan Syara’

 

            Kedaulatan di tangan syara’ merupakan salah satu dari empat karakter prinsip Negara Khilafah. Melalui penelitian yang cermat (istiqra’) empat karakter prinsip ini tampak nyata ditetapkan oleh nash-nash syara’[1]. Kali ini kita akan membahas karakter prinsip yang pertama, as siyaadah lisy Syar’, kedaulatan ada pada syara’. Berikut uraian ringkasnya:

 

Makna Kedaulatan Yang Dimaksud

Kedaulatan (As Siyadah / Sovereignty) merupakan suatu konsep yuridis yang menggambarkan kekuasaan tertinggi dalam pembuatan undang-undang[2]. Tentu saja jika kedaulatan itu kita kaitkan dengan kekuasaan untuk membuat undang-undang, maka konteksnya adalah dalam institusi negara.

Yang dimaksud dengan “Penguasa tertinggi untuk membuat undang-undang” bukanlah lembaga yang melakukan proses legeslasi secara teknis, tapi merujuk pada suatu pihak yang memiliki kekuasaan mutlak untuk menentukan seluruh nilai dan hukum yang berlaku di dalam suatu negara, di mana segala macam aspirasinya wajib dijadikan acuan oleh negara yang bersangkutan.[3]

Negara demokrasi, misalnya, mengatakan bahwa rakyatlah yang berdaulat. Artinya, aspirasi rakyatlah yang dijadikan acuan dalam pembuatan undang-undang. Sedangkan proses legeslasi hukum secara teknis dilakukan oleh lembaga negara, yang di Indonesia proses itu dilakukan oleh DPR bersama pemerintah. Tugas DPR dan pemerintah hanyalah menuangkan segala macam aspirasi rakyat ke dalam berbagai perundang-undangan yang mereka buat. Setidaknya itulah klaim mereka. Maka dalam hal ini, kedaulatan berada di tangan rakyat, sedangkan DPR dan pemerintah hanyalah lembaga yang diserahi wewenang oleh rakyat untuk merumuskan dan mengesahkan undang-undang yang diolah dari aspirasi rakyat. Atas dasar itu, dalam konteks pengadopsian undang-undang, konsep pemegang kedaulatan (shohibus siyaadah) harus dibedakan dengan konsep pemegang wewenang teknis (shohibush sholahiyah).

Ungkapan “kekuasaan tertinggi” menunjukkan bahwa pihak pemegang kedaulatan ini berkuasa penuh untuk menetapkan hukum dan nilai apa pun yang dia kehendaki tanpa tunduk dan bersandar kepada pihak mana pun, dia juga tidak diatur oleh aturan dan norma apa pun. Dengan kata lain, pemegang kedaulatan adalah pembuat nilai, aturan, dan hukum itu sendiri. Atau dengan ungkapan yang lebih tegas: pemegang kedaulatan adalah sumber kebenaran.[4]

Dalam sejarahnya, manusia menyerahkan kedaulatan ini kepada berbagai macam pihak. Negara demokrasi menyerahkan kedaulatan kepada rakyat. Dalam negara otokrasi, penguasalah yang berdaulat. Dalam suku-suku primitif, mungkin adat-tradisi yang berdaulat. Inilah pembahasan singkat pengenai fakta dari istilah kedaulatan.

 

Siapa Yang Berdaulat Dalam Negara Menurut Islam?

Kedaulatan sebagai suatu istilah yang memiliki makna yuridis tertentu memang tidak pernah menjadi istilah yang digunakan oleh generasi salaf. Meski demikian, pandangan islam mengenai konsep pemegang kedaulatan itu ada faktanya dan telah dipahami dengan baik oleh kaum muslimin sejak generasi awal, meski mereka tidak menyebutnya dengan suatu istilah tertentu[5]. Dengan kata lain, sejak awal umat Islam telah memiliki persepsi mengenai kepada siapa kekuasaan hukum tertinggi itu harus diserahkan.[6]

Karena istilah kedaulatan (siyadah) belum dikenal pada masa awal, maka permasalahan ini tidak kita temukan dalam nash-nash syara’ secara literal. Namun, ketentuan mengenai konsep kedaulatan dalam islam bisa digali dengan melakukan istiqraa’ (penelaahan), tatabu’ (penyelidikan) terhadap dalil-dalil syara’ yang ada.[7] Siapa saja yang meneliti dan menyelidiki masalah ini, maka mereka akan menemukan bahwa pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara, sebagaimana diajarkan oleh Islam, adalah syara’, bukan yang lain. Sekali lagi, yang kita bicarakan adalah pemegang kedaulatan â€"yaitu sumber/rujukan tertinggi dalam mencari nilai/hukum- bukan lembaga yang memiliki wewenang teknis untuk memformalkan sebuah aturan di dalam sebuah negara.

Arti dari konsep kedaulatan di tangan syara’ adalah bahwa negara itu harus tunduk kepada syara’ tatkala memformalkan berbagai macam kebijakan dan perundangan-undangan. Dengan kata lain, negara harus senantiasa merujuk kepada syara’ dalam hal tersebut. Maka dari itu, institusi negara secara formal sepenuhnya terikat pada keputusan-kuputusan syara’, bukan kepada yang lain. Inilah pengertian kedaulatan di tangan syara’.

 

Konsep Kedaulatan Negara Di tangan Syara’, Fakta dan Dalilnya

Konsep kedaulatan di tangan syara’ faktanya tergambar jelas dalam beberapa nash, meski nash-nash itu tidak menggunakan istilah kedaulatan (as siyadah) secara eksplisit. Dalil-dalil yang bisa saya sebut antara lain:

 

1.      Dalil Umum Mengenai Wajibnya Berhukum Kepada Hukum Allah

Dalil mengenai wajibnya berhukum kepada hukum Allah itu sangat banyak. Antara lain ada dalam Al Maidah ayat 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51; An Nisaa’ ayat 58, 59, 60, 65, 105, Al Ahzab ayat 36, Asy Syura ayat 10, dll. Semuanya datang dengan seruan yang jelas dan tegas. Sudah jelas bahwa hukum-hukum Allah itu tidak mungkin tegak secara sempurna tanpa peran negara. Di samping itu, ketentuan dalam ayat-ayat ini mengikat seluruh muslim, baik ia berperan sebagai apa pun, termasuk kepala negara. Atas dasar itu, seorang muslim yang menjadi kepada negara harus menjadikan syara’ sebagai landasan dalam segenap kebijakan yang dia terapkan. Padahal di zaman modern ini semua negara punya konstitusi, dimana kepala negara harus berjalan berdasarkan konstitusi tersebut. Maka, seorang kepala negara tidak mungkin bisa dengan seenaknya menerapkan hukum-hukum Islam kecuali jika dia berada di dalam negara yang berasaskan Islam. Suatu negara disebut berasaskan Islam ketika negara tersebut menjadikan aqidah Islam sebagai aqidah negara, dan menjadikan hukum-hukum Islam sebagai rujukan dalam seluruh kebijakannya. Inilah yang disebut dengan negara yang menjadikan syara’ sebagai pemegang kedaulatan.

 

2.      Dalil Mengenai Wajibnya Mengembalikan Berbagai Persengketaan Dalam Negara Kepada hukum Allah

Hal ini bisa kita dapat dalam surat An Nisaa ayat 59 berikut:

 

يَا Ø£ÙŽÙŠÙ'هَا الÙ'ذِينَ آمَنُواÙ' أَطِيعُواÙ' اللÙ'Ù‡ÙŽ وَأَطِيعُواÙ' الرÙ'سُولَ وَأُوÙ'لِي الأمÙ'رِ مِنÙ'كُمÙ' فَإِن تَنَازَعÙ'تُمÙ' فِي Ø´ÙŽÙŠÙ'ءٍ فَرُدÙ'وهُ إِلَى اللÙ'هِ وَالرÙ'سُولِ إِن كُنÙ'تُمÙ' تُؤÙ'مِنُونَ بِاللÙ'هِ وَالÙ'ÙŠÙŽÙˆÙ'مِ الاَخِرِ

 

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Menurut Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zaid, dll, bahwa yang dimaksud dengan ulul amri dalam ayat ini adalah penguasa. Ibnu Jarir rahimahullah menjelaskan: “(maka kembalinya kepada Allah) Maka merujuklah kepada pengetahuan hukum yang datang dari Allah mengenai perkara yang menjadi perselisihan di antara kalian atau yang terjadi antara kalian dengan para pemimpin kalian. (dan kepada rasul) jika pengetahui itu tidak kalian dapati dalam kitabullah maka merujuklah pula kepada pengetahuan hukum yang datang dari rasul, jika ia masih hidup, dan kepada sunnahnya, jika ia sudah wafat. (Jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir) Lakukanlah yang demikian itu jika kalian benar-benar membenarkan Allah dan hari akhir, yaitu (hari) perhitungan yang di dalamnya akan terdapat pahala dan siksa, jika kalian mengerjakan apa yang diperintahkan kepada kalian maka kalian akan mendapat limpahan pahala dari Allah, namun jika kalian tidak melakukan apa yang diperintahkan itu, maka bagi kalian hukuman yang pedih.” [8]

Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Jarir rahimahullaah di atas, perintah dalam ayat ini hukumnya wajib. Sebab, pengaitan tuntutan tersebut dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir merupakan indikasi yang menunjukkan kepada kewajiban[9]. Ayat ini merupakan ayat yang memberi ketentuan hukum bagi pemerintahan. Sebab, di dalamnya ada aturan bahwa pemerintah harus merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah dalam menyelesaikan persengketaan. Di samping itu, ayat ini juga memerintahkan kepada rakyat untuk menggugat kelalaian penguasa berdasarkan kitabullah dan sunnah. Maka dari itu, ayat ini jelas-jelas menghendaki agar Al Qur’an dan As Sunnah itu dijadikan acuan bersama bagi penguasa dan rakyat. Seakan-akan Al Qur’an dan As Sunnah itu merupakan konstitusi negara, tempat mengembalikan segala permasalahan yang terjadi di dalam negara. Ini menunjukkan bahwa sasaran ayat ini bukan sekedar membentuk kesholehan individu, baik dari pihak rakyat mau pun penguasa, tapi ayat ini menghendaki suatu sistem tertentu, yaitu sistem negara yang menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai konstitusinya. Inilah yang disebut menjadikan syara’ sebagai sumber kedaulatan negara.

Ayat ini juga dikuatkan dengan ayat-ayat lain. Misalnya surat Al Maidah ayat 48:

فاحكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”

Ibnu Katsir rahimahullaah dalam tafsirnya[10] berkata: “Dan firman Allah Ta'aalaa, “maka hukumilah perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah”, maksudnya, hukumilah wahai Muhammad perkara-perkara di antara manusia, baik yang Arab maupun yang 'ajam, baik yang bodoh mau pun yang terpelajar, dengan apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu di dalam kitab yang agung ini,...”.

Kemudian beliau mengutip sebuah hadits, dari Ibnu 'Abbas, berkata, "Dahulu Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam memiliki pilihan, apabila mengendaki maka beliau akan menghukumi di antara mereka (orang kafir) namun apabila beliau (tidak) menghendaki maka beliau berpaling dari mereka sehingga mereka merujuk kepada hukum mereka sendiri. Kemudian turunlah (wahyu), "fahkum bainahum bi maa anzalallaahu wa laa tattabi' ahwaa-ahum.." maka kemudian Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghukumi perkara di antara mereka (orang kafir) dengan hukum-hukum yang ada di dalam kitab kita".

Ibnu Katsir berkata: "Dan firman Allah Ta'aalaa, "dan jangan kamu ikuti hawa nafsu mereka", yaitu pendapat-pendapat yang menjadi tradisi mereka, yang karena tradisi-tradisi itu mereka meninggalkan apa-apa yang diturunkan oleh Allah kepada rasulNya, oleh karena itu Allah Ta'aalaa berfirman, "dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (untuk menyimpang) dari kebenaran yang telah datang kepadamu", yaitu janganlah kamu berpaling dari kebenaran -yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu- kepada hawa nafsu orang-orang yang jahil lagi celaka".

Saya katakan : Ayat yang mulia ini turun di Madinah, di mana posisi Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam waktu itu adalah sebagai pemimpin negara. Layaknya pemimpin negara, maka beliau memiliki tugas untuk mengurusi urusan masyarakat dan memberi penyelesaian terhadap segala perselisihan yang muncul. Maka tidak heran jika terdapat banyak sekali hadits yang meriwayatkan aktivitas Nabi shollalaahu 'alaihi wa sallam dalam kapasitas beliau sebagai pengurus dan pemelihara urusan masyarakat.

Ayat yang mulia ini secara jelas menegaskan adanya kewajiban bagi Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam untuk terikat pada apa yang diturunkan oleh Allah dalam menyelesaikan berbagai problem kemasyarakatan. Padahal, di antara anggota masyarakat yang beliau pimpin itu ada orang-orang kafir yang memiliki tradisi dan hukum-hukum tersendiri. Maka Allah memerintahkan beliau untuk mengabaikan tradisi-tradisi dan hukum-hukum yang berlaku pada masa jahiliyah seraya mewajibkan beliau untuk menerapkan apa yang diturunkan oleh Allah kepada manusia yang beliau pimpin, baik mereka itu muslim mau pun kafir. Ini menunjukkan bahwa syara’lah yang berdaulat dalam negara yang beliau pimpin. Ketentuan ini tidak boleh dilihat hanya sebagai politik individu Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam, tapi ini harus dipandang sebagai ketentauan baku yang menjadi prinsip negara Islam, bahwa pemimpin itu harus memutuskan dengan syara’.

 

3.      Dalil Mengenai Muhasabah (koreksi) Terhadap Penguasa Yang Menyimpang Dari Ketentuan Syara’

Banyak sekali dalil-dalil umum yang menyatakan bahwa umat Islam diharamkan untuk berdiam diri tatkala melihat kemunkaran atau penyimpangan terhadap hukum Allah, entah dilakukan oleh penguasa atau siapa pun. Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata, Rasulullaah shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

« من رأى منكم منكرًا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه ، وذلك أضعف الإيمان »

“Barang siapa melihat suatu kemunkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak sanggup maka dengan lisannya, apabila tidak sanggup, maka dengan hatinya, dan yang demikian itu merupakan selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)”

Qoisy bin Hazm menuturkan perihal Abu Bakar Ash Shidq radhiyallaahu 'anhu:

 Ø­ÙŠÙ†Ù…ا قام خطيبًا فحمد الله وأثنى عليه ثم قال :  Ø£ÙŠÙ‡Ø§ الناس إنكم تقرؤون هذه الآية ï´¿ يَا Ø£ÙŽÙŠÙ'ُهَا الÙ'َذِينَ آمَنُواÙ' عَلَيÙ'كُمÙ' أَنفُسَكُمÙ' لاَ يَضُرÙ'ُكُم Ù…Ù'ÙŽÙ† ضَلÙ'ÙŽ إِذَا اهÙ'تَدَيÙ'تُمÙ' ï´¾ وإنكم تضعونها على غير موضعها ØŒ وإني سمعت رسول الله صلÙ'Ù‰ الله عليه Ùˆ سلÙ'Ù…  قال : « إن الناس إذا رأوا المنكر ولا يغيرونه أوشك الله عز وجل أن يعمهم بعقابه » . وفي رواية : « إن الناس إذا رأوا الظالم فلم يأخذوا على يديه أوشك أن يعمهم الله بعقاب منه »

Abu Bakar berdiri dalam khotbah, kemudian menyanjung Allah, kemudian berkata, “wahai manusia, sesungguhnya kalian telah membaca ayat ini “hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu tiadalah orang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu, apabila kamu telah mendapat petunjuk (terj. Q. S. Al Maidah ayat 105) “ sedang kami mendengar Rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, “sesungguhnya manusia apabila melihat kemunkaran dan tidak merubahnya maka hampir-hampir Allah ‘Azza wa Jalla meratakan mereka dengan hukuman” dalam riwayat lain, “sesungguhnya manusia apabila melihat kedzaliman kemudian mereka tidak mencegahnya dengan kekuatan maka hampir-hampir Allah menghukum mereka secara umum. (HR. Ahmad, An Nasai, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud)

Dari Husyaim radhiyallaahu 'anhu, Rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ما من قوم يعمل فيهم بالمعاصي ثمÙ' يقدرون على أن يغيÙ'روا ثمÙ' لا يغيÙ'روا إلÙ'ا يوشك أن يعمÙ'هم الله منه بعقاب

“Tidaklah suatu kaum yang di tengah mereka dilakukan kemaksiatan kemudian mereka mampu merubahnya tapi tidak merubahnya kecuali hampir-hampir Allah menghukum mereka secara umum” (HR. Abu Dawud).

            Hadits-hadits itu jelas mengharamkan kaum muslimin untuk berdiam terhadap segala macam kemunkaran dan kedzaliman secara umum. Dan di antara berbagai jenis kemunkaran adalah kemunkaran yang berasal dari penguasa, bahkan itu merupakan suatu jenis kemunkaran yang paling berbahaya. Maka dari itu, mengoreksi kemunkaran penguasa adalah wajib, meski tetap disertai ketaatan dalam hal yang ma’ruf, dan tidak merebut kekuasaannya, selama tidak tampak kekufuran yang nyata.

Ada juga dalil-dalil yang secara khusus menyebutkan tuntutan untuk melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan penguasa.

 

عن أبي أمامة رضي الله عنه أن رجلاً قال : يا رسول الله ! أي الجهاد أفضل ؟ ورسول الله يرمي الجمرة الأولى فأعرض عنه ، ثم قال له عند الجمرة الوسطى فأعرض عنه ، فلما رمى جمرة العقبة ووضع رجله في الغرز قال : أين السائل ؟ قال : أنا ذا يا رسول الله . قال:« أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر »

Dari Abu Umamah radhiyallaahu 'anhu bahwa ada seorang lelaki yang berkata: “wahai Rasulullah, jihad apakah yang paling afdhol? Rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam sedang melempar jumrah ula, maka beliau mendiamkannya? Kemudian (laki-laki itu) berkata (lagi) pada saat melempar jumrah wustho dan (beliau) mendiamkannya, kemudian pada saat melempar jumrah ‘aqabah dan memasukkan kaki beliau ke pelana beliau bertanya: “mana orang yang bertanya tadi?” Laki-laki itu berkata: “saya wahai rasulullaah!”, beliau bersabda: “jihad yang paling utama adalah kata-kata haq yang disampaikan di depan penguasa yang dzalim” (HR. Ahmad dan Ibnu Maajah)

 

 Ø¹Ù† جابر رضي الله عنه عن النبي  صلÙ'Ù‰ الله عليه Ùˆ سلÙ'Ù…  Ù‚ال  :« سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله»

dari Jabir radhiyallaahu 'anhu dari Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, “penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Mutholib, dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa jaair (dzalim) kemudian ia memerintahkannya (berbuat ma’ruf) dan mencegahnya (dari kemunkaran), lalu (penguasa itu) membunuhnya”. (HR. Hakim dalam Al Mustadrak)

Jika masalah ini kita kaitkan dengan surat An Nisaa’ 59 yang tadi telah kita bahas, maka masalah ini termasuk kategori persengketaan antara umat dengan penguasa. Dan dalam perkara ini, kedua pihak wajib merujuk kepada kitabullah dan sunnah. Maka, di satu sisi, rakyat harus mendasarkan koreksinya pada Alkitab dan sunah. Di sisi lain, negara juga harus memperhatikan koreksi itu dari kacamata kitabullah dan sunnah. Artinya, penguasa akan dikoreksi jika ia melanggar kitabullah dan sunnah, dan di sisi lain, koreksi hanya akan dianggap benar dan hanya akan ditanggapi oleh pemerintah jika ia didasarkan pada kitabullah dan sunnah, lain tidak. Ini menunjukkan bahwa kitabullah dan sunnah merupakan rujukan resmi bagi negara, bukan sekedar rujukan bagi pribadi, baik dari sisi rakyat mau pun penguasanya. Inilah fakta kedaulatan di tangan syara’.

Pemahaman ini juga tampak nyata pada sikap para shohabat radhiyallaahu 'anhum, baik yang menajdi penguasa mau pun yang menjadi rakyat. Perhatikan khutbah Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu setelah diangkat sebagai kholifah,

“taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah, dan jika aku bermaksiyat kepada Allah dan rasulNya maka kalian tidak berkewajiban taat kepadaku.” [11]

Begitu pula Kholifah Umar radhiyallaahu 'anhu tatkala beliau berkata,

“barang siapa yang melihat penyimpangan dariku maka luruskanlah” kemudian ada seorang hadirin yang mengatakan kepada beliau, “demi Allah wahai Umar! Jika kami melihat padamu suatu penyimpangan, maka kami akan meluruskannya dengan pedang kami!”. Lalu Umar radhiyallaahu 'anhu berkata, “segala puji bagi Allah yang telah menjadikan sebagian dari umat ini orang yang akan meluruskan Umar dengan pedangnya!”.[12]

Ini menunjukkan adanya aturan tegas dalam negara bahwa para kholifah itu harus berjalan di atas rel tertentu dimana mereka tidak boleh menyimpang darinya. Dan rel itu tidak lain adalah Islam. Maka, bisa dipahami bahwa hukum Islam merupakan pemegang kedaulatan dalam negara. Ini bukan hanya urusan pribadi antara kolifah dengan Allah, tapi juga urusan yuridis antara kholifah dengan umat dan asas negara.

 

4.      Dalil Menyangkut Tidak Ada Kewajiban Ta’at Kepada Imam Ketika Dia Mengabaikan Penerapan Kitabullah

Negara Islam adalah negara yang tunduk di bawah kedaulatan syara’. Salah satu alasannya adalah karena umat Islam wajib berlepas diri dari imam yang tidak menerapkan kitabullah. Sebab, imam memang diangkat dalam rangka menerapkan kitabullaah. Itu artinya, ada aturan main yang berlaku di dalam negara Islam, bahwa seorang pemimpin harus berjalan di atas rel syariah. Urusan ini bukan sekedar urusan pribadi antara kholifah dengan Allah, tapi ini juga merupakan urusan yuridis antara sang kholifah dengan umat dan undang-undang yang berlaku di dalam negara Islam. Artinya, masalah ini bukan berfokus pada kesholehan pribadi seorang kholifah, tapi lebih merupakan karakter dari hukum yang berlaku pada nagara khilafah. Dalilnya adalah hadits berikut:

 Ø¹Ù† أنس بن مالك رضي الله تعالى عنه أن رسول الله صلÙ'Ù‰ الله عليه Ùˆ سلÙ'Ù… قال : « اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة ما أقام فيكم كتاب الله »

Dari Anas bin Malik bahwasannya Rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda "dengar dan taatilah (imam) sekali pun kalian dipimpin oleh seorang budak habasyi yang kepala seperti zabibah (sejenis anggur) selama ia menegakkan kitabullah di tengah-tengah kalian

(Al Bukhori, fii ahkaam, Baab as sam'u wathoo'atu lil imam maa lam yakun ma'shiyah)

 

وعن أم الحصين الأحمسية رضي الله تعالى عنها قالت : ( حججت مع رسول الله صلÙ'Ù‰ الله عليه Ùˆ سلÙ'Ù… حجة الوداع قالت : فقال رسول الله صلÙ'Ù‰ الله عليه Ùˆ سلÙ'Ù… قولا كثيرا ثمÙ' سعته يقول : « إن أمر عليكم عبد مجدع - حسبتها قالت : أسود - يقودكم بكتاب الله فاسمعوا له وأطيعوا »

Dari Yahya bin Hushain berkata bahwa neneknya -Ummu Hushain ra- pernah berkata, "aku berhaji bersama rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam pada haji wada' Dia berkata lagi, "waktu itu rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam berkhotbah sangat panjang, kemudian aku mendengar beliau saw bersabda, "apabila kalian diperintah oleh seorang budak yang buruk rupa (aku -yahya- mengira maksudnya adalah budak hitam) yang diangkat untuk memimpin kalian dengan kitabullah maka dengarlah ia dan taatilah ia"

(HR. Muslim, bab wujubu tho'atil umara' fii ghoiri ma'shiyah)

Dalam sebuah riwayat disebutkan:

« يا أيها الناس اتقوا الله وإن أمر عليكم عبد حبشي مجدع فاسمعوا له وأطيعوا ما أقام فيكم كتاب الله »

"wahai manusia, bertaqwalah kepada Allah sekali pun yang memimpin kalian adalah budak habsyi yang buruk rupa, dengarlah ia dan taatilah ia selama menegakkan kitabullah ditengah-tengah kalian"

(At Tirmidzi fii kitabil jihad, bab: maa jaa'a fii thoo'atil imam; An Nasa’i, kitab fil bai'ah, bab, Al Hadh 'alaa tho'atil imam).

Menanggapi hadits-hadits ini, penulis kitab Al Imamah Al ‘Udzma ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah dalam bab “sebab-sebab pemecatan kholifah” berkata,

 â€œhadits-hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa mendengar dan taat kepada pemimpin itu disyaratkan ketika sang pemimpin tersebut memimpin rakyatnya dengan Kitabullah. Adapun apabila dia tidak menerapkan syariat Allah kepada mereka, maka tidak ada kepatuhan dan ketatan, dan yang demikian itu menghendaki pemecatannya. Ini dalam kasus ketika dia berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah karena kefasikan. Adapun apabila itu dilakukan karena kekafiran, maka dia wajib dipecat meski harus dengan peperangan”.[13]

Kita bisa menangkap bahwa kesimpulan yang diambil oleh penulis itu merupakan mafhum mukholafah (pemahaman terbalik) yang tersimpul dari nash-nash tersebut. Manthuq (pemahaman literal) yang didapat dari hadits-hadits itu adalah: kita dituntut untuk taat kepada pemimpin selama pemimpin tersebut memberlakukan Kitabullah, maka pemahaman terbaliknya adalah: jika dia mencampakkan pemberlakuan Kitabullah maka kita tidak dituntut untuk taat kepadanya lagi, sehingga dia bisa dicopot dari jabatannya.

Semua itu menunjukkan bahwa negara Islam tidak akan membiarkan seorang kholifah berjalan sekehendak hati. Di negara Islam ada hukum yang berlaku di balik sang hakim (penguasa), di mana jika hukum itu dia langgar, maka dia tidak akan mendapat toleransi. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak mensyariatkan sebuah negara otokrasi/monarki absolut di mana raja berjalan tanpa panduan hukum. Ini menunjukkan bahwa Negara yang disyariatkan oleh Islam adalah negara yang memiliki “konstitusi”/dustur. Meski para ulama tidak menyebutnya dengan sebuatan konstitusi, namun fakta mengenai adanya aturan main semacam konstitusi â€"yang membatasi para penguasa- itu dipahami dengan baik oleh para ulama. Ini terlihat dari berbagai ketentuan yang digali dari nash-nash syara’ oleh para ulama mengenai syarat-syarat pemecatan kholifah. Jelas konstitusi itu tidak lain dilahirkan dari hukum syara’. Seakan-akan ada satu pasal yang mengatakan bahwa, “kholifah akan diberhentikan jika dia murtad dari Islam”; atau “kholifah akan diberhentikan jika dia meninggalkan penerapan hukum Allah”. Dan hal ini merupakan perkara yang telah disepakati oleh seluruh ulama.[14]

Disamping itu, hadits-hadits tersebut juga menjelaskan bahwa pemimpin itu diangkat dalam rangka menerapkan kitabullah di tengah-tengan kehidupan umat. Atas dasar itu, pengangkatan kholifah merupakan aqad agar sang kholifah menerapkan hukum Allah atas diri umat. Maka para ulama menjelaskan bahwa dalam lafadz bai’atul  in’iqod (aqad pengangkatan kholifah) itu paling tidak harus mengandung pengertian bahwa sang kholifah diangkat / diberi amanah untuk mengatur urusan umat berdasarkan Kitabullah dan sunnah.[15]

            Uraian di atas menunjukkan bahwa syara’ merupakan pihak yang paling berkuasa dalam negara Islam. Inilah fakta kedaulatan dan inilah yang disebut dengan konsep kedaulatan di tangan syara’. Ketentuan mengenai posisi syara’ sebagai pemegang kekuasaan hukum tertinggi ini merupakan sifat yang melekat pada institusi negara, bukan sekedar kebijakan personal yang dicetuskan oleh seorang kepala negara.

Masalah: Saya tambahkan, bahwa hadits-hadits dari Anas bin Malik dan Ummu Hushain radhiyallaahu 'anhuma yang telah disebutkan di atas mengandung qorinah (indikasi) yang bisa menyinari pemahaman kita mengenai makna hadits yang disampaikan oleh Auf bin Malik radhiyallaahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut:

عن عوف بن مالك رضي الله تعالى عنه قال : سمعت رسول الله صلÙ'Ù‰ الله عليه Ùˆ سلÙ'Ù… يقول : « خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ØŒ وتصلون عليهم ويصلون عليكم ØŒ وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم ØŒ وتلعنونهم ويلعنونكم » . قال : قلنا يا رسول الله : أفلا ننابذهم عند ذلك ØŸ قال : « لا ما أقاموا فيكم الصلاة ØŒ لا ما أقاموا فيكم الصلاة ... »

Dari Auf bin Malik radhiyallaahu 'anhu, dari rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, “pemimpin kalian yang terbaik adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakanmu dan kalian mendoakan mereka. Pemimpin kalian yang paling buruk adalah mereka yang kalian benci sedang mereka juga membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian”. Ada orang bertanya, “Ya rasulullaah, tidakkah kami perangi merekadalam keadaan itu?”, Beliau menjawab, “tidak, selama mereka menegakkan sholat di tengah-tengah kalian…”.

Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim bahwa Qodhi ‘iyadh rahimahullah menyatakan adanya kesepakatan ulama mengenai wajibnya pemecatan imam ketika ia meninggalkan penegakkan sholat berikut seruannya.[16] Menegakkan sholat ditengah umat adalah menegakkan kewajibannya dan menjaga agar syiar ini tetap terjaga kelestariannya di tengah umat dengan memelihara seruannya dan menegakkan hukum bagi orang yang mengabaikannya[17]. Jika kholifah tidak melakukan hal ini, maka dia telah mengabaikan seruan sholat di tengah-tengah umat.

Namun, tidak boleh dipahami bahwa satu-satunya perkara yang menyebabkan kholifah dipecat adalah meninggalkan penegakkan sholat semata. Sebab, jika dipahami demikian, maka kita akan menelantarkan hadits-hadits yang lain mengenai wajibnya melepaskan ketaatan kepada pemimpin yang mengabaikan penerapan kitabullah. Sementara para ulama ushul mengatakan, “I’maalud dalilaini awwalaa min ihmaali ahadihima” mengamalkan dua dalil itu lebih utama dari pada mengabaikan salah satunya.

Jika kedua dalil itu kita gunakan bersama, maka kita akan mendapatkan pemahaman yang benar, bahwa kholifah tidak boleh ditaati jika meninggalkan hukum-hukum Allah. Sementara sholat adalah salah satu hukum yang termaktub di dalam Kitabullah, dan meninggalkan penegakkan sholat -dalam negara- merupakan suatu bentuk pengabaian terhadap kitabullaah. Maka Imam akan dipecat ketika menginggalkan penegakkan sholat, dan akan diperangi jika mengingkari kewajiban sholat sedang dia bersikeras mempertahankan jabatannya, sebab sholat merupakan salah satu hukum Allah yang tidak boleh ditinggalkan apalagi diingkari.

Maka jadilah kata sholat dalam hadits terakhir ini dipahami sebagai kinayah (konotasi) yang mewakili hukum Islam secara umum. Uslub (gaya) yang digunakan adalah menyebut sebagian (sholat) untuk menunjuk kepada keseluruhannya (seluruh hukum Allah) (itlaqul juz’i wa irodatul kulli).[18] Kaidah ushul mengatakan,”la yushroful lafdzu minal haqiqoti ilal majazi illaa bi qorinatin”, pemahaman sebuah lafadz itu tidak dialihkan dari makna hakiki (denotatif) menjadi makna majazi (konotatif) kecuali jika ada suatu indikasi yang mendukung pengalihan makna tersebut. Sedangkan indikasi yang membuat kami berani menyatakan bahwa sholat merupakan kinayah bagi “hukum Allah secara umum” adalah hadits-hadits mengenai kewajiban ta’at kepada kholifah selama ia menerapkan kitabullah secara muthlaq, padahal isi kitabullah bukan hanya sholat. Atas dasar itu, kholifah bisa juga dipecat ketika mengingkari kewajiban zakat dan tidak menegakkan hukum zakat di tengah-tengah umat, atau membiarkan sikap pengingkaran terhadap perintah zakat, begitu juga dengan hukum-hukum qoth’i yang lain.

Adapun perihal memeranginya, maka itu disyariatkan karena tindakan ingkar terhadap hukum-hukum Allah secara global (jumlatan) atau terhadap hukum-hukum rinci yang qoth’I, seperti sholat dan zakat, baik yang dilakukan oleh penguasa atau yang lain, merupakan suatu bentuk kekufuran yang nyata, Dan tindakan pembiaran terhadap fenomena kekufuran yang tampak wajar di tengah masyarakat itu jelas akan membahayakan dan meruntuhkan syiar-syiar Islam yang muthlak harus senantiasa dilestarikan. Dalam kondisi di mana kekufuran tampak nyata dilakukan oleh penguasa atau penguasa tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap kekufuran nyata yang terdemonstrasikan secara lazim dalam lingkup kekuasaannya maka kholifah harus diingatkan, jika tidak berubah maka ia akan segera dipecat oleh Mahkamah Madzalim[19], jika tidak mau berhenti maka kaum muslimin wajib memberhentikannya walau melalui peperangan. Dalilnya adalah:

الحديث الذي رواه عبادة بن الصامت رضي الله تعالى عنه قال :  ( بايعنا - أي رسول الله صلÙ'Ù‰ الله عليه Ùˆ سلÙ'Ù… - على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا ØŒ وألا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرًا بواحًا عندكم من الله فيه برهان )

Al hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Shomit radhiyallaahu 'anhu, berkata, “ kami membaiat Rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam untuk mendengar dan ta’at dalam keadaan yang kami sukai mau pun yang kami benci, dalam keadaan sulit mau pun lapang serta tidak mementingkan urusan kami pribadi, dan agar kami tidak merebut urusan dari ahlinya (pemimpin) kecuali ketika , “kalian melihat kekufuran secara nyata, yang dapat kalian ketahui dari keterangan Allah mengenai hal tersebut”. (muttafaqun ‘alaihi)

Hadits ini menyatakan bahwa kaum muslimin tidak boleh merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali jika mereka melihat adanya kekufuran yang nyata pada kekuasaannya, yang mana kekufuran itu dapat dibuktikan secara pasti melalui dalil-dalil yang Allah jelaskan. Dengan semua ini perkaranya menjadi jelas, bahwa kholifah itu dipecat ketika kufur atau membiarkan begitu saja kekufuran tampak nyata dalam kekuasaannya. Ini karena lafadz kufran bawaahan merupakan sususan nakirah maushufah (kata benda tak tentu yang diiringi kata sifat) yang berarti segala macam bentuk kekufuran yang bersifat nyata, baik berupa pengabaian hukum Allah secara global/keseluruhan, pemberlakuan hukum kufur, pencabutan hukum rinci yang qoth’i, atau membiarkan fenomena kekufuran tampak nyata dalam kekuasaannya, semuanya menunjukkan adanya kufran bawahan.[20] Jika fenomena seperti itu tampak, maka kholifah harus dipecat, dan apabila bersikeras dengan jabatannya maka ia wajib diperangi oleh kaum muslimin. Sedangkan di antara bentuk kekufuran nyata yang terjadi pada diri seorang pemimpin adalah mengingkari hukum-hukum Allah dan tidak mau menegakkan hukum-hukum itu di tengah-tengah kehidupan umat, sebagaimana firman Allah:

ÙˆÙŽÙ…ÙŽÙ† Ù„Ù'Ù…Ù' ÙŠÙŽØ­Ù'كُم بِمَآ أَنزَلَ اللÙ'هُ فَأُوÙ'لَـَئِكَ هُمُ الÙ'كَافِرُونَ

“barang siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah (karena ingkar) maka mereka itulah orang-orang yang kafir” (Al Maidah ayat 44)

Dan di antara tindakan pengingkaran terhadap hukum-hukum dalam kitabullah adalah mengingkari dan mengabaikan kewajiban penegakkan sholat. Demikianlah, yang demikian itu merupakan fenomena munculnya kekufuran yang nyata, sehingga menjadi sebab dipecatnya seorang kholifah, meski harus dengan peperangan.

Peringatan: Namun perlu ditegaskan, bahwa ketentuan memerangi penguasa yang murtad atau yang mencabut hukum-hukum Allah, atau membiarkan kekufuran mengemuka secara nyata dalam kekuasaannya ini hanya berlaku di dalam negara Islam (khilafah) dan tidak berlaku pada negara yang memang pada asalnya sudah sekuler, seperti negara-negara yang berdiri di negeri-negeri muslim dewasa ini. Artinya, ketentuan ini hanya berlaku bagi negara yang memang pada asalnya menjadikan Islam sebagai aqidah bagi sistemnya dan sebagai sumber bagi hukumnya, kemudian pada suatu saat kholifahnya murtad atau mencabut pemberlakuan hukum Allah. Dalam kasus ini yang terjadi adalah adanya seorang pemimpin yang menyimpang, sehingga harus diluruskan, meski dengan pedang. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam ketika Musthofa Kamal meruntuhkan Khilafah pada dekade 20-an. Adapun negara sekuler yang saat ini tidak menerapkan hukum Allah, maka solusinya bukan diperangi, tapi didakwahi agar berubah menjadi negara Islam. Karena dalam kasus terakhir ini kesalahannya bukan hanya pada pemimpinnya semata, tapi juga pada asas berdirinya negara yang tidak benar. Maka asas harus diubah terlebih dahulu melalui dakwah[21].

 

Kesimpulan

Demikianlah, negara khilafah itu salah satunya dicirikan dengan konsep kedaulatan di tangan syara’, bukan di tangan rakyat atau pun di tangan kholifah. Wallahu a’lam

[by Ttx]



[1] An Nabhaniy, Taqiyuddiin An Nabhaani. 2002. Nidzomul Hukmi Fil Islam. Cet VI. Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Empat Karakter itu beliau sebut sebagai Al Qowaidul Hukmu, kaidah dasar sistem pemerintahan Islam, yakni: kedaulatan bagi syara’, kekuasaan bagi umat, wewenang adopsi hukum bagi kholifah, dan kesatuan kepemimpinan bagi seluruh umat islam.

[2] Lihat: Budiarjo, Prof. Miriam. 2004. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta; Al Kholidi, Dr. Abdul Majid. 2004. Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam. Al Azhar Press. Bogor

[3] Lihat: Mufti, Dr. M. Ahmad dan Dr. Sami Sholih Al Wakil. 2002. Formalisasi Syariah Dalam Kehidupan Bernegara. Media Pustaka Ilmu. Yogyakarta; Al Kholidi. 2004.

[4] Bandingkan dengan: An Nabhani, Taqyuddiin. 2002 ; Al Kholidi, 2004

[5] Al Kholidi. 2004

[6] Sesuatu yang secara syar’i memiliki fakta sejak awal tapi baru disebut dengan istilah tertentu pada masa berikutnya itu banyak sekali, antara lain adalah istilah as sunnah yang digunakan di kalangan ushuliyuun (ahli ushul fiqh) yang dimaknai sebagai segala sesuatu yang dikaitkan kepada Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan, mau pun taqrir (maa udhiifa ilan Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam -min fi’lin, aw qoulin, aw taqriirin). Fakta bahwa perbuatan, perkataan dan taqrir nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam merupakan sumber hukum dan objek ittiba’ telah dipahami sejak awal. Hanya saja, pada masa awal belum ada istilah khusus yang digunakan untuk menyebut fakta as sunnah itu (perkataan, perbuatan, dan taqrir beliau shollallaahu 'alaihi wa sallam). Istilah as sunnah baru digunakan secara khusus untuk menyebut fakta itu pada masa belakangan, ketika ilmu ushul dan fiqh mulai berkembang. Begitu pula dengan pokok bahasan hukum halal-haram, sejak awal memang sudah ada, tapi belum disebut dengan istilah ilmu fiqh, baru pada masa berikutnya ilmu yang mempelajari hukum amali disebut ilmu fiqh.

[7] Banyak sekali masalah dalam fiqh yang tidak didapat dari teks secara literal, namun dihasilkan dari proses istiqra’ dan tattabu’. Misalnya, para ulama tidak pernah menemukan ketentuan rukun-rukun sholat termuat dalam satu teks secara literal. Namun, para ulama melakukan penelitian dan penelusuran secara komperhensif terhadap dalil-dalil yang terkait dengan sholat, sehingga didapat pengetahuan mengenai apa saja yang terkategori sebagai rukun sholat. Dan apa yang tidak.  Contoh lain adalah syarat apa saja yang wajib dipenuhi agar seseorang bisa diangkat menjadi kholifah (Islam, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil dan mampu), itu didapat dari istiqra’, tidak ada  nash yang menyebutkannya dengan rinci seperti itu.

[8] Ath Thobari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. 1995. Jaami’ul Bayaan ‘an Ta’wiil Aayl Qur’aan. Darul Fikr

[9] Ibnu Kholil, Atho’. 2003. Ushul Fiqh. Pustaka Thoriqol Izzah. Bogor

[10] Ibnu Katsir, Abu Fidaa’ Ismail bin Katsir Al Qurasiy Ad Dimasyqiy. Tt. Tafsiir Al Qur’aan Al ‘Adziim.  Ahlul Hadits.com

[11] As Suyuthi, Abu Fadl Jalaluddiin AbudurRahman As Suyuthi Asy Syafi’i. 2006. Tarikh Khulafa’. Pustaka Al Kautsar. Jakarta

[12] Al Badri, Abdul Aziz. 2005. Politik Ulama dan Penguasa Islam. Pustaka Setia. Bandung

[13] Ad Dumaiji, Abdullaah ibnu Amr ibnu Sulaiman. 1987. Al Imaamah Al ‘Udzmaa ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah. Sebuah Tesis di Univ. Ummul Quraa, Makkah, yang salah satu pembimbingnya adalah As Sayid Saabiq rahimahullaah, tokoh dari Jama’ah Ikhwan.

[14] Sebagian ulama menjelaskan bahwa kholifah dipecat jika: murtad, mengabaikan atau meninggalkan hukum Allah, kehilangan keadilan (fasiq), kehilangan akal (gila), dan kehilangan kemampuan (seperti karena menjadi cacat atau ditawan musuh). Lihat An Nabhaniy, 2001. Bandingkan dengan: Al Mawardi. 2003. Ahkaamush Shulthoniyah. Darul Haq, Ad Dumaiji 1987.

[15] Al Kholidi, Dr. M. Abdul Majid. 2002. Baiat Dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam. Al Izzah. Bangil

[16] Ad Dumaiji, 1987

[17] Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban yang harus diterapkan oleh penguasa dalam rangka menghukum orang yang meninggalkan sholat karena malas. Imam Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad -dalam salah satu riwayat- mengatakan bahwa penguasa harus membunuh orang yang tidak sholat sebagai suatu ta’zir. Sedang Imam Ahmad dalam riwayat lain mengatakan bahwa hukuman bunuh itu karena had murtad, bukan ta’zir. Sedang Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa penguasa harus memenjarakannya hingga dia mau bertobat dan kembali mengerjakan sholat. (lihat: Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdur Rahman. 2004. Fiqh Empat Madzhab/rahmatul ummah fii ikhtilafil aimmah. Hasyimi. Bandung)

[18] An Nabhaniy, Taqiyuddiin. 2002

[19] Mahakamah Madzolim adalah lembaga peradilan yang memberikan putusan hukum terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh kholifah atau petugas-petugas negara terkait dengan wewenang mereka. Mahkamah ini juga satu-satunya lembaga yang berhak menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap kholifah. Lihat: Hizbut Tahrir. 2005. Ajhizatu Daulatil Khilafah, filhukmi wal idarah.  Daarul Ummah Liththoba’ah wannasyr wattauzi’. Beirut

[20] Lihat An Nabhani. 2002; Lihat: Al Haikal. Dr. M. Khair. 2003. Jihad dan Perang Dalam Syariat Islam. Pustaka thoriqul Izzah. Bogor.

[21] Lihat: Al Haikal. Dr. M. Khair. 2003


__._,_.___
Tiada kemuliaan tanpa Islam,
Tak sempurna Islam tanpa syariat,
Tak akan tegak syariat tanpa Daulah Khilafah Rosyidah

Rasul bersabda:
"Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian".
beliau kemudian diam.
(HR Ahmad dan al-Bazar)
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___
ApaItu Khilafah (Bagian 1)

Khilafah Adalah Negara Yang Kedaulatannya Berada Di
Tangan Syara'



Kedaulatan di tangan syara' merupakan salah satu dari
empat karakter prinsip Negara Khilafah. Melalui penelitian yang cermat (istiqra')
empat karakter prinsip ini tampak nyata ditetapkan oleh nash-nash syara'[1].
Kali ini kita akan membahas karakter prinsip yang pertama, as siyaadah lisy
Syar', kedaulatan ada pada syara'. Berikut uraian ringkasnya:



Makna
Kedaulatan Yang Dimaksud

Kedaulatan (As Siyadah /
Sovereignty) merupakan suatu konsep yuridis yang menggambarkan kekuasaan
tertinggi dalam pembuatan undang-undang[2].
Tentu saja jika kedaulatan itu kita kaitkan dengan kekuasaan untuk membuat
undang-undang, maka konteksnya adalah dalam institusi negara.

Yang dimaksud dengan
"Penguasa tertinggi untuk membuat undang-undang" bukanlah lembaga yang
melakukan proses legeslasi secara teknis, tapi merujuk pada suatu pihak yang
memiliki kekuasaan mutlak untuk menentukan seluruh nilai dan hukum yang berlaku
di dalam suatu negara, di mana segala macam aspirasinya wajib dijadikan acuan
oleh negara yang bersangkutan.[3]

Negara demokrasi, misalnya,
mengatakan bahwa rakyatlah yang berdaulat. Artinya, aspirasi rakyatlah yang
dijadikan acuan dalam pembuatan undang-undang. Sedangkan proses legeslasi hukum
secara teknis dilakukan oleh lembaga negara, yang di Indonesia proses itu dilakukan oleh
DPR bersama pemerintah. Tugas DPR dan pemerintah hanyalah menuangkan segala
macam aspirasi rakyat ke dalam berbagai perundang-undangan yang mereka buat.
Setidaknya itulah klaim mereka. Maka dalam hal ini, kedaulatan berada di tangan
rakyat, sedangkan DPR dan pemerintah hanyalah lembaga yang diserahi wewenang
oleh rakyat untuk merumuskan dan mengesahkan undang-undang yang diolah dari
aspirasi rakyat. Atas dasar itu, dalam konteks pengadopsian undang-undang,
konsep pemegang kedaulatan (shohibus siyaadah) harus dibedakan dengan
konsep pemegang wewenang teknis (shohibush sholahiyah).

Ungkapan "kekuasaan
tertinggi" menunjukkan bahwa pihak pemegang kedaulatan ini berkuasa penuh untuk
menetapkan hukum dan nilai apa pun yang dia kehendaki tanpa tunduk dan
bersandar kepada pihak mana pun, dia juga tidak diatur oleh aturan dan norma
apa pun. Dengan kata lain, pemegang kedaulatan adalah pembuat nilai, aturan,
dan hukum itu sendiri. Atau dengan ungkapan yang lebih tegas: pemegang
kedaulatan adalah sumber kebenaran.[4]

Dalam sejarahnya, manusia
menyerahkan kedaulatan ini kepada berbagai macam pihak. Negara demokrasi
menyerahkan kedaulatan kepada rakyat. Dalam negara otokrasi, penguasalah yang
berdaulat. Dalam suku-suku primitif, mungkin adat-tradisi yang berdaulat.
Inilah pembahasan singkat pengenai fakta dari istilah kedaulatan.



Siapa Yang
Berdaulat Dalam Negara Menurut Islam?

Kedaulatan sebagai suatu
istilah yang memiliki makna yuridis tertentu memang tidak pernah menjadi
istilah yang digunakan oleh generasi salaf. Meski demikian, pandangan islam
mengenai konsep pemegang kedaulatan itu ada faktanya dan telah dipahami dengan
baik oleh kaum muslimin sejak generasi awal, meski mereka tidak menyebutnya
dengan suatu istilah tertentu[5].
Dengan kata lain, sejak awal umat Islam telah memiliki persepsi mengenai kepada
siapa kekuasaan hukum tertinggi itu harus diserahkan.[6]

Karena istilah kedaulatan
(siyadah) belum dikenal pada masa awal, maka permasalahan ini tidak kita
temukan dalam nash-nash syara' secara literal. Namun, ketentuan mengenai konsep
kedaulatan dalam islam bisa digali dengan melakukan istiqraa'
(penelaahan), tatabu' (penyelidikan) terhadap dalil-dalil syara' yang
ada.[7]
Siapa saja yang meneliti dan menyelidiki masalah ini, maka mereka akan
menemukan bahwa pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara, sebagaimana
diajarkan oleh Islam, adalah syara', bukan yang lain. Sekali lagi, yang kita
bicarakan adalah pemegang kedaulatan –yaitu sumber/rujukan tertinggi dalam
mencari nilai/hukum- bukan lembaga yang memiliki wewenang teknis untuk
memformalkan sebuah aturan di dalam sebuah negara.

Arti dari konsep kedaulatan
di tangan syara' adalah bahwa negara itu harus tunduk kepada syara' tatkala
memformalkan berbagai macam kebijakan dan perundangan-undangan. Dengan kata
lain, negara harus senantiasa merujuk kepada syara' dalam hal tersebut. Maka
dari itu, institusi negara secara formal sepenuhnya terikat pada
keputusan-kuputusan syara', bukan kepada yang lain. Inilah pengertian
kedaulatan di tangan syara'.



Konsep
Kedaulatan Negara Di tangan Syara', Fakta dan Dalilnya

Konsep
kedaulatan di tangan syara' faktanya tergambar jelas dalam beberapa nash, meski
nash-nash itu tidak menggunakan istilah kedaulatan (as siyadah) secara
eksplisit. Dalil-dalil yang bisa saya sebut antara lain:



1.
Dalil Umum Mengenai Wajibnya
Berhukum Kepada Hukum Allah

Dalil
mengenai wajibnya berhukum kepada hukum Allah itu sangat banyak. Antara lain
ada dalam Al Maidah ayat 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51; An Nisaa' ayat 58, 59, 60,
65, 105, Al Ahzab ayat 36, Asy Syura ayat 10, dll. Semuanya datang dengan
seruan yang jelas dan tegas. Sudah jelas bahwa hukum-hukum Allah itu tidak
mungkin tegak secara sempurna tanpa peran negara. Di samping itu, ketentuan
dalam ayat-ayat ini mengikat seluruh muslim, baik ia berperan sebagai apa pun,
termasuk kepala negara. Atas dasar itu, seorang muslim yang menjadi kepada
negara harus menjadikan syara' sebagai landasan dalam segenap kebijakan yang
dia terapkan. Padahal di zaman modern ini semua negara punya konstitusi, dimana
kepala negara harus berjalan berdasarkan konstitusi tersebut. Maka, seorang
kepala negara tidak mungkin bisa dengan seenaknya menerapkan hukum-hukum Islam
kecuali jika dia berada di dalam negara yang berasaskan Islam. Suatu negara
disebut berasaskan Islam ketika negara tersebut menjadikan aqidah Islam sebagai
aqidah negara, dan menjadikan hukum-hukum Islam sebagai rujukan dalam seluruh
kebijakannya. Inilah yang disebut dengan negara yang menjadikan syara' sebagai
pemegang kedaulatan.



2.
Dalil Mengenai Wajibnya
Mengembalikan Berbagai Persengketaan Dalam Negara Kepada hukum Allah

Hal
ini bisa kita dapat dalam surat
An Nisaa ayat 59 berikut:



يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ
اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرّسُولَ وَأُوْلِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرّسُولِ إِن كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
وَالْيَوْمِ الاَخِرِ



"Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".

Menurut
Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Ibnu Zaid, dll, bahwa yang dimaksud dengan ulul
amri dalam ayat ini adalah penguasa. Ibnu Jarir rahimahullah menjelaskan:
"(maka kembalinya kepada Allah) Maka merujuklah kepada pengetahuan hukum
yang datang dari Allah mengenai perkara yang menjadi perselisihan di antara
kalian atau yang terjadi antara kalian dengan para pemimpin kalian. (dan kepada
rasul) jika pengetahui itu tidak kalian dapati dalam kitabullah maka merujuklah
pula kepada pengetahuan hukum yang datang dari rasul, jika ia masih hidup, dan
kepada sunnahnya, jika ia sudah wafat. (Jika kalian beriman kepada Allah dan
Hari Akhir) Lakukanlah yang demikian itu jika kalian benar-benar membenarkan
Allah dan hari akhir, yaitu (hari) perhitungan yang di dalamnya akan terdapat
pahala dan siksa, jika kalian mengerjakan apa yang diperintahkan kepada kalian
maka kalian akan mendapat limpahan pahala dari Allah, namun jika kalian tidak
melakukan apa yang diperintahkan itu, maka bagi kalian hukuman yang pedih." [8]

Sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnu Jarir rahimahullaah di atas, perintah dalam ayat
ini hukumnya wajib. Sebab, pengaitan tuntutan tersebut dengan keimanan kepada
Allah dan hari akhir merupakan indikasi yang menunjukkan kepada kewajiban[9]. Ayat
ini merupakan ayat yang memberi ketentuan hukum bagi pemerintahan. Sebab, di
dalamnya ada aturan bahwa pemerintah harus merujuk kepada Al Qur'an dan As
Sunnah dalam menyelesaikan persengketaan. Di samping itu, ayat ini juga
memerintahkan kepada rakyat untuk menggugat kelalaian penguasa berdasarkan
kitabullah dan sunnah. Maka dari itu, ayat ini jelas-jelas menghendaki agar Al
Qur'an dan As Sunnah itu dijadikan acuan bersama bagi penguasa dan rakyat.
Seakan-akan Al Qur'an dan As Sunnah itu merupakan konstitusi negara, tempat
mengembalikan segala permasalahan yang terjadi di dalam negara. Ini menunjukkan
bahwa sasaran ayat ini bukan sekedar membentuk kesholehan individu, baik dari
pihak rakyat mau pun penguasa, tapi ayat ini menghendaki suatu sistem tertentu,
yaitu sistem negara yang menjadikan Al Qur'an dan As Sunnah sebagai
konstitusinya. Inilah yang disebut menjadikan syara' sebagai sumber kedaulatan
negara.

Ayat
ini juga dikuatkan dengan ayat-ayat lain. Misalnya surat Al Maidah ayat 48:

فاحكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق

"Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu"

Ibnu Katsir rahimahullaah dalam
tafsirnya[10]
berkata: "Dan firman Allah Ta'aalaa, "maka hukumilah perkara di antara
mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah", maksudnya, hukumilah wahai
Muhammad perkara-perkara di antara manusia, baik yang Arab maupun yang 'ajam,
baik yang bodoh mau pun yang terpelajar, dengan apa yang diturunkan oleh Allah
kepadamu di dalam kitab yang agung ini,...".

Kemudian beliau mengutip sebuah hadits, dari
Ibnu 'Abbas, berkata, "Dahulu Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam memiliki
pilihan, apabila mengendaki maka beliau akan menghukumi di antara mereka (orang
kafir) namun apabila beliau (tidak) menghendaki maka beliau berpaling dari
mereka sehingga mereka merujuk kepada hukum mereka sendiri. Kemudian turunlah
(wahyu), "fahkum bainahum bi maa anzalallaahu wa laa tattabi'
ahwaa-ahum.." maka kemudian Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan untuk menghukumi perkara di antara mereka (orang kafir) dengan
hukum-hukum yang ada di dalam kitab kita".

Ibnu Katsir berkata: "Dan firman Allah
Ta'aalaa, "dan jangan kamu ikuti hawa nafsu mereka", yaitu
pendapat-pendapat yang menjadi tradisi mereka, yang karena tradisi-tradisi itu
mereka meninggalkan apa-apa yang diturunkan oleh Allah kepada rasulNya, oleh
karena itu Allah Ta'aalaa berfirman, "dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka (untuk menyimpang) dari kebenaran yang telah datang
kepadamu", yaitu janganlah kamu berpaling dari kebenaran -yang telah
diperintahkan oleh Allah kepadamu- kepada hawa nafsu orang-orang yang jahil
lagi celaka".

Saya katakan : Ayat yang mulia ini turun di
Madinah, di mana posisi Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam waktu itu
adalah sebagai pemimpin negara. Layaknya pemimpin negara, maka beliau memiliki tugas
untuk mengurusi urusan masyarakat dan memberi penyelesaian terhadap segala
perselisihan yang muncul. Maka tidak heran jika terdapat banyak sekali hadits
yang meriwayatkan aktivitas Nabi shollalaahu 'alaihi wa sallam dalam kapasitas
beliau sebagai pengurus dan pemelihara urusan masyarakat.

Ayat yang mulia ini secara jelas menegaskan adanya kewajiban bagi Nabi shollallahu
'alaihi wa sallam untuk terikat pada apa yang diturunkan oleh Allah dalam
menyelesaikan berbagai problem kemasyarakatan. Padahal, di antara anggota
masyarakat yang beliau pimpin itu ada orang-orang kafir yang memiliki tradisi
dan hukum-hukum tersendiri. Maka Allah memerintahkan beliau untuk mengabaikan
tradisi-tradisi dan hukum-hukum yang berlaku pada masa jahiliyah seraya
mewajibkan beliau untuk menerapkan apa yang diturunkan oleh Allah kepada manusia
yang beliau pimpin, baik mereka itu muslim mau pun kafir. Ini menunjukkan bahwa
syara'lah yang berdaulat dalam negara yang beliau pimpin. Ketentuan ini tidak
boleh dilihat hanya sebagai politik individu Nabi shollallaahu 'alaihi wa
sallam, tapi ini harus dipandang sebagai ketentauan baku yang menjadi prinsip negara Islam, bahwa
pemimpin itu harus memutuskan dengan syara'.



3.      Dalil
Mengenai Muhasabah (koreksi) Terhadap Penguasa Yang Menyimpang Dari Ketentuan
Syara'

Banyak sekali dalil-dalil
umum yang menyatakan bahwa umat Islam diharamkan untuk berdiam diri tatkala
melihat kemunkaran atau penyimpangan terhadap hukum Allah, entah dilakukan oleh
penguasa atau siapa pun. Dari Abu Sa'id Al Khudri berkata, Rasulullaah
shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

« من رأى منكم منكرًا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع
فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه
، وذلك أضعف الإيمان »

"Barang siapa melihat
suatu kemunkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak
sanggup maka dengan lisannya, apabila tidak sanggup, maka dengan hatinya, dan
yang demikian itu merupakan selemah-lemah iman." (HR. Muslim)"

Qoisy bin Hazm menuturkan
perihal Abu Bakar Ash Shidq radhiyallaahu 'anhu:

حينما قام خطيبًا فحمد الله وأثنى عليه ثم قال :
أيها الناس إنكم تقرؤون هذه الآية

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَ
يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ ﴾ وإنكم تضعونها على غير موضعها ، وإني
سمعت رسول الله صلّى الله عليه و سلّم
قال : « إن الناس إذا رأوا المنكر ولا يغيرونه أوشك الله عز وجل أن يعمهم
بعقابه » . وفي رواية : « إن الناس إذا رأوا الظالم فلم يأخذوا على يديه أوشك أن
يعمهم الله بعقاب منه »

Abu Bakar berdiri dalam
khotbah, kemudian menyanjung Allah, kemudian berkata, "wahai manusia,
sesungguhnya kalian telah membaca ayat ini "hai orang-orang yang beriman
jagalah dirimu tiadalah orang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu, apabila
kamu telah mendapat petunjuk (terj. Q. S. Al Maidah ayat 105) " sedang kami
mendengar Rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "sesungguhnya
manusia apabila melihat kemunkaran dan tidak merubahnya maka hampir-hampir
Allah 'Azza wa Jalla meratakan mereka dengan hukuman" dalam riwayat lain, "sesungguhnya
manusia apabila melihat kedzaliman kemudian mereka tidak mencegahnya dengan
kekuatan maka hampir-hampir Allah menghukum mereka secara umum. (HR. Ahmad,
An Nasai, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud)

Dari Husyaim radhiyallaahu
'anhu, Rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ما
من قوم يعمل فيهم بالمعاصي ثمّ يقدرون على أن يغيّروا ثمّ لا يغيّروا إلّا يوشك أن
يعمّهم الله منه بعقاب

"Tidaklah suatu kaum yang
di tengah mereka dilakukan kemaksiatan kemudian mereka mampu merubahnya tapi
tidak merubahnya kecuali hampir-hampir Allah menghukum mereka secara umum"
(HR. Abu Dawud).

Hadits-hadits itu jelas mengharamkan kaum muslimin untuk
berdiam terhadap segala macam kemunkaran dan kedzaliman secara umum. Dan di
antara berbagai jenis kemunkaran adalah kemunkaran yang berasal dari penguasa,
bahkan itu merupakan suatu jenis kemunkaran yang paling berbahaya. Maka dari
itu, mengoreksi kemunkaran penguasa adalah wajib, meski tetap disertai ketaatan
dalam hal yang ma'ruf, dan tidak merebut kekuasaannya, selama tidak tampak
kekufuran yang nyata.

Ada juga dalil-dalil yang secara khusus menyebutkan
tuntutan untuk melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan penguasa.



عن
أبي أمامة رضي الله عنه أن رجلاً قال : يا رسول الله ! أي الجهاد أفضل ؟ ورسول
الله يرمي الجمرة الأولى فأعرض عنه ، ثم قال له عند الجمرة الوسطى فأعرض عنه ،
فلما رمى جمرة العقبة ووضع رجله في الغرز قال : أين السائل ؟ قال : أنا ذا يا رسول
الله . قال:« أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر »

Dari Abu Umamah
radhiyallaahu 'anhu bahwa ada seorang lelaki yang berkata: "wahai
Rasulullah, jihad apakah yang paling afdhol? Rasulullah shollallaahu
'alaihi wa sallam sedang melempar jumrah ula, maka beliau mendiamkannya?
Kemudian (laki-laki itu) berkata (lagi) pada saat melempar jumrah wustho
dan (beliau) mendiamkannya, kemudian pada saat melempar jumrah 'aqabah dan
memasukkan kaki beliau ke pelana beliau bertanya: "mana orang yang bertanya
tadi?" Laki-laki itu berkata: "saya wahai rasulullaah!", beliau
bersabda: "jihad yang paling utama adalah kata-kata haq yang disampaikan di
depan penguasa yang dzalim" (HR. Ahmad dan Ibnu Maajah)



عن
جابر رضي الله عنه عن النبي
صلّى الله عليه و سلّم  قال

:« سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى
إمام جائر فأمره ونهاه فقتله»

dari Jabir radhiyallaahu
'anhu dari Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "penghulu para
syuhada' adalah Hamzah bin Abdul Mutholib, dan seorang laki-laki yang berdiri
di hadapan penguasa jaair (dzalim) kemudian ia memerintahkannya (berbuat
ma'ruf) dan mencegahnya (dari kemunkaran), lalu (penguasa itu) membunuhnya". (HR.
Hakim dalam Al Mustadrak)

Jika masalah ini kita
kaitkan dengan surat
An Nisaa' 59 yang tadi telah kita bahas, maka masalah ini termasuk kategori
persengketaan antara umat dengan penguasa. Dan dalam perkara ini, kedua pihak
wajib merujuk kepada kitabullah dan sunnah. Maka, di satu sisi, rakyat harus
mendasarkan koreksinya pada Alkitab dan sunah. Di sisi lain, negara juga harus
memperhatikan koreksi itu dari kacamata kitabullah dan sunnah. Artinya,
penguasa akan dikoreksi jika ia melanggar kitabullah dan sunnah, dan di sisi
lain, koreksi hanya akan dianggap benar dan hanya akan ditanggapi oleh
pemerintah jika ia didasarkan pada kitabullah dan sunnah, lain tidak. Ini
menunjukkan bahwa kitabullah dan sunnah merupakan rujukan resmi bagi negara,
bukan sekedar rujukan bagi pribadi, baik dari sisi rakyat mau pun penguasanya.
Inilah fakta kedaulatan di tangan syara'.

Pemahaman ini juga tampak
nyata pada sikap para shohabat radhiyallaahu 'anhum, baik yang menajdi
penguasa mau pun yang menjadi rakyat. Perhatikan khutbah Abu Bakar radhiyallaahu
'anhu setelah diangkat sebagai kholifah,

"taatlah kepadaku selama
aku taat kepada Allah, dan jika aku bermaksiyat kepada Allah dan rasulNya maka
kalian tidak berkewajiban taat kepadaku." [11]

Begitu pula Kholifah Umar radhiyallaahu
'anhu tatkala beliau berkata,

"barang siapa yang
melihat penyimpangan dariku maka luruskanlah" kemudian ada seorang hadirin
yang mengatakan kepada beliau, "demi Allah wahai Umar! Jika kami melihat
padamu suatu penyimpangan, maka kami akan meluruskannya dengan pedang kami!".
Lalu Umar radhiyallaahu 'anhu berkata, "segala puji bagi Allah yang
telah menjadikan sebagian dari umat ini orang yang akan meluruskan Umar dengan
pedangnya!".[12]


Ini menunjukkan adanya
aturan tegas dalam negara bahwa para kholifah itu harus berjalan di atas rel
tertentu dimana mereka tidak boleh menyimpang darinya. Dan rel itu tidak lain
adalah Islam. Maka, bisa dipahami bahwa hukum Islam merupakan pemegang
kedaulatan dalam negara. Ini bukan hanya urusan pribadi antara kolifah dengan
Allah, tapi juga urusan yuridis antara kholifah dengan umat dan asas negara.



4.      Dalil
Menyangkut Tidak Ada
Kewajiban Ta'at Kepada Imam Ketika Dia Mengabaikan Penerapan Kitabullah

Negara Islam adalah negara yang tunduk di bawah
kedaulatan syara'. Salah satu alasannya adalah karena umat Islam wajib berlepas
diri dari imam yang tidak menerapkan kitabullah. Sebab, imam memang diangkat
dalam rangka menerapkan kitabullaah. Itu artinya, ada aturan main yang berlaku
di dalam negara Islam, bahwa seorang pemimpin harus berjalan di atas rel
syariah. Urusan ini bukan sekedar urusan pribadi antara kholifah dengan Allah,
tapi ini juga merupakan urusan yuridis antara sang kholifah dengan umat dan
undang-undang yang berlaku di dalam negara Islam. Artinya, masalah ini bukan
berfokus pada kesholehan pribadi seorang kholifah, tapi lebih merupakan
karakter dari hukum yang berlaku pada nagara khilafah. Dalilnya adalah hadits
berikut:

عن أنس بن مالك رضي الله تعالى عنه أن رسول الله
صلّى الله عليه و سلّم قال : « اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه
زبيبة ما أقام فيكم كتاب الله »

Dari Anas bin Malik bahwasannya Rasulullah shollallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda "dengar dan taatilah (imam) sekali pun kalian dipimpin
oleh seorang budak habasyi yang kepala seperti zabibah (sejenis anggur) selama
ia menegakkan kitabullah di tengah-tengah kalian

(Al Bukhori, fii ahkaam, Baab as sam'u wathoo'atu lil imam maa lam
yakun ma'shiyah)



وعن
أم الحصين الأحمسية رضي الله تعالى عنها قالت : ( حججت مع رسول الله صلّى الله
عليه و سلّم حجة الوداع قالت : فقال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم قولا كثيرا
ثمّ سعته يقول : « إن أمر عليكم عبد مجدع - حسبتها قالت : أسود - يقودكم بكتاب
الله فاسمعوا له وأطيعوا »

Dari Yahya bin Hushain berkata bahwa neneknya -Ummu Hushain ra- pernah
berkata, "aku berhaji bersama rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam
pada haji wada' Dia berkata lagi, "waktu itu rasulullah shollallaahu
'alaihi wa sallam berkhotbah sangat panjang, kemudian aku mendengar beliau
saw bersabda, "apabila kalian diperintah oleh seorang budak yang buruk
rupa (aku -yahya- mengira maksudnya adalah budak hitam) yang diangkat untuk
memimpin kalian dengan kitabullah maka dengarlah ia dan taatilah ia"

(HR. Muslim, bab wujubu tho'atil umara' fii ghoiri ma'shiyah)

Dalam sebuah riwayat disebutkan:

« يا أيها الناس اتقوا الله وإن
أمر عليكم عبد حبشي مجدع فاسمعوا له وأطيعوا ما أقام فيكم كتاب الله »

"wahai manusia, bertaqwalah kepada Allah sekali pun yang
memimpin kalian adalah budak habsyi yang buruk rupa, dengarlah ia dan taatilah
ia selama menegakkan kitabullah ditengah-tengah kalian"

(At Tirmidzi fii kitabil jihad, bab: maa jaa'a fii thoo'atil imam;
An Nasa'i, kitab fil bai'ah, bab, Al Hadh 'alaa tho'atil imam).

Menanggapi hadits-hadits
ini, penulis kitab Al Imamah Al 'Udzma 'inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah dalam
bab "sebab-sebab pemecatan kholifah" berkata,

"hadits-hadits tersebut secara jelas
menunjukkan bahwa mendengar dan taat kepada pemimpin itu disyaratkan ketika
sang pemimpin tersebut memimpin rakyatnya dengan Kitabullah. Adapun apabila dia
tidak menerapkan syariat Allah kepada mereka, maka tidak ada kepatuhan dan
ketatan, dan yang demikian itu menghendaki pemecatannya. Ini dalam kasus ketika
dia berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah karena kefasikan. Adapun
apabila itu dilakukan karena kekafiran, maka dia wajib dipecat meski harus
dengan peperangan".[13]

Kita bisa menangkap bahwa
kesimpulan yang diambil oleh penulis itu merupakan mafhum mukholafah (pemahaman
terbalik) yang tersimpul dari nash-nash tersebut. Manthuq (pemahaman
literal) yang didapat dari hadits-hadits itu adalah: kita dituntut untuk taat
kepada pemimpin selama pemimpin tersebut memberlakukan Kitabullah, maka
pemahaman terbaliknya adalah: jika dia mencampakkan pemberlakuan Kitabullah
maka kita tidak dituntut untuk taat kepadanya lagi, sehingga dia bisa dicopot
dari jabatannya.

Semua itu menunjukkan bahwa
negara Islam tidak akan membiarkan seorang kholifah berjalan sekehendak hati.
Di negara Islam ada hukum yang berlaku di balik sang hakim (penguasa), di mana
jika hukum itu dia langgar, maka dia tidak akan mendapat toleransi. Ini
menunjukkan bahwa Islam tidak mensyariatkan sebuah negara otokrasi/monarki
absolut di mana raja berjalan tanpa panduan hukum. Ini menunjukkan bahwa Negara
yang disyariatkan oleh Islam adalah negara yang memiliki "konstitusi"/dustur.
Meski para ulama tidak menyebutnya dengan sebuatan konstitusi, namun fakta
mengenai adanya aturan main semacam konstitusi –yang membatasi para penguasa-
itu dipahami dengan baik oleh para ulama. Ini terlihat dari berbagai ketentuan
yang digali dari nash-nash syara' oleh para ulama mengenai syarat-syarat
pemecatan kholifah. Jelas konstitusi itu tidak lain dilahirkan dari hukum
syara'. Seakan-akan ada satu pasal yang mengatakan bahwa, "kholifah akan
diberhentikan jika dia murtad dari Islam"; atau "kholifah akan diberhentikan
jika dia meninggalkan penerapan hukum Allah". Dan hal ini merupakan perkara
yang telah disepakati oleh seluruh ulama.[14]

Disamping itu, hadits-hadits
tersebut juga menjelaskan bahwa pemimpin itu diangkat dalam rangka menerapkan
kitabullah di tengah-tengan kehidupan umat. Atas dasar itu, pengangkatan
kholifah merupakan aqad agar sang kholifah menerapkan hukum Allah atas diri
umat. Maka para ulama menjelaskan bahwa dalam lafadz bai'atul  in'iqod (aqad pengangkatan kholifah) itu
paling tidak harus mengandung pengertian bahwa sang kholifah diangkat / diberi
amanah untuk mengatur urusan umat berdasarkan Kitabullah dan sunnah.[15]

Uraian di atas menunjukkan bahwa syara' merupakan pihak
yang paling berkuasa dalam negara Islam. Inilah fakta kedaulatan dan inilah
yang disebut dengan konsep kedaulatan di tangan syara'. Ketentuan mengenai
posisi syara' sebagai pemegang kekuasaan hukum tertinggi ini merupakan sifat
yang melekat pada institusi negara, bukan sekedar kebijakan personal yang
dicetuskan oleh seorang kepala negara.

Masalah:
Saya tambahkan,
bahwa hadits-hadits dari Anas bin Malik dan Ummu Hushain radhiyallaahu
'anhuma yang telah disebutkan di atas mengandung qorinah (indikasi)
yang bisa menyinari pemahaman kita mengenai makna hadits yang disampaikan oleh
Auf bin Malik radhiyallaahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
sebagai berikut:

عن عوف بن مالك رضي الله تعالى عنه قال :
سمعت رسول الله صلّى الله عليه و سلّم يقول : « خيار أئمتكم الذين تحبونهم
ويحبونكم ، وتصلون عليهم ويصلون عليكم ، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم ،
وتلعنونهم ويلعنونكم » . قال : قلنا يا رسول الله : أفلا ننابذهم عند ذلك ؟ قال :
« لا ما أقاموا فيكم الصلاة ، لا ما أقاموا فيكم الصلاة ... »

Dari Auf bin Malik
radhiyallaahu 'anhu, dari rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "pemimpin
kalian yang terbaik adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai
kalian, mereka mendoakanmu dan kalian mendoakan mereka. Pemimpin kalian yang
paling buruk adalah mereka yang kalian benci sedang mereka juga membenci
kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian". Ada orang bertanya,
"Ya rasulullaah, tidakkah kami perangi merekadalam keadaan itu?", Beliau
menjawab, "tidak, selama mereka menegakkan sholat di tengah-tengah kalian…".

Imam An Nawawi rahimahullah
mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim bahwa Qodhi 'iyadh rahimahullah
menyatakan adanya kesepakatan ulama mengenai wajibnya pemecatan imam ketika ia
meninggalkan penegakkan sholat berikut seruannya.[16]
Menegakkan sholat ditengah umat adalah menegakkan kewajibannya dan menjaga agar
syiar ini tetap terjaga kelestariannya di tengah umat dengan memelihara
seruannya dan menegakkan hukum bagi orang yang mengabaikannya[17].
Jika kholifah tidak melakukan hal ini, maka dia telah mengabaikan seruan sholat
di tengah-tengah umat.

Namun, tidak boleh dipahami
bahwa satu-satunya perkara yang menyebabkan kholifah dipecat adalah
meninggalkan penegakkan sholat semata. Sebab, jika dipahami demikian, maka kita
akan menelantarkan hadits-hadits yang lain mengenai wajibnya melepaskan
ketaatan kepada pemimpin yang mengabaikan penerapan kitabullah. Sementara para
ulama ushul mengatakan, "I'maalud dalilaini awwalaa min ihmaali ahadihima"
mengamalkan dua dalil itu lebih utama dari pada mengabaikan salah satunya.

Jika kedua dalil itu kita
gunakan bersama, maka kita akan mendapatkan pemahaman yang benar, bahwa
kholifah tidak boleh ditaati jika meninggalkan hukum-hukum Allah. Sementara
sholat adalah salah satu hukum yang termaktub di dalam Kitabullah, dan
meninggalkan penegakkan sholat -dalam negara- merupakan suatu bentuk pengabaian
terhadap kitabullaah. Maka Imam akan dipecat ketika menginggalkan penegakkan
sholat, dan akan diperangi jika mengingkari kewajiban sholat sedang dia
bersikeras mempertahankan jabatannya, sebab sholat merupakan salah satu hukum
Allah yang tidak boleh ditinggalkan apalagi diingkari.

Maka jadilah kata sholat
dalam hadits terakhir ini dipahami sebagai kinayah (konotasi) yang
mewakili hukum Islam secara umum. Uslub (gaya) yang digunakan adalah menyebut sebagian
(sholat) untuk menunjuk kepada keseluruhannya (seluruh hukum Allah) (itlaqul
juz'i wa irodatul kulli).[18]
Kaidah ushul mengatakan,"la yushroful lafdzu minal haqiqoti ilal majazi
illaa bi qorinatin", pemahaman sebuah lafadz itu tidak dialihkan dari makna
hakiki (denotatif) menjadi makna majazi (konotatif) kecuali jika ada suatuindikasi yang mendukung pengalihan makna tersebut. Sedangkan indikasi yang
membuat kami berani menyatakan bahwa sholat merupakan kinayah bagi
"hukum Allah secara umum" adalah hadits-hadits mengenai kewajiban ta'at kepada
kholifah selama ia menerapkan kitabullah secara muthlaq, padahal isi kitabullah
bukan hanya sholat. Atas dasar itu, kholifah bisa juga dipecat ketika
mengingkari kewajiban zakat dan tidak menegakkan hukum zakat di tengah-tengah
umat, atau membiarkan sikap pengingkaran terhadap perintah zakat, begitu juga
dengan hukum-hukum qoth'i yang lain.

Adapun perihal memeranginya,
maka itu disyariatkan karena tindakan ingkar terhadap hukum-hukum Allah secara
global (jumlatan) atau terhadap hukum-hukum rinci yang qoth'I, seperti
sholat dan zakat, baik yang dilakukan oleh penguasa atau yang lain, merupakan
suatu bentuk kekufuran yang nyata, Dan tindakan pembiaran terhadap fenomena
kekufuran yang tampak wajar di tengah masyarakat itu jelas akan membahayakan
dan meruntuhkan syiar-syiar Islam yang muthlak harus senantiasa dilestarikan.
Dalam kondisi di mana kekufuran tampak nyata dilakukan oleh penguasa atau
penguasa tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap kekufuran nyata yang
terdemonstrasikan secara lazim dalam lingkup kekuasaannya maka kholifah harus diingatkan,
jika tidak berubah maka ia akan segera dipecat oleh Mahkamah Madzalim[19],
jika tidak mau berhenti maka kaum muslimin wajib memberhentikannya walau melalui
peperangan. Dalilnya adalah:

الحديث الذي رواه عبادة بن الصامت رضي الله
تعالى عنه قال :  ( بايعنا - أي رسول الله
صلّى الله عليه و سلّم - على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة
علينا ، وألا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرًا بواحًا عندكم من الله فيه برهان
)

Al hadits yang diriwayatkan
oleh 'Ubadah bin Shomit radhiyallaahu 'anhu, berkata, " kami membaiat
Rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallam untuk mendengar dan ta'at dalam
keadaan yang kami sukai mau pun yang kami benci, dalam keadaan sulit mau pun lapang
serta tidak mementingkan urusan kami pribadi, dan agar kami tidak merebut
urusan dari ahlinya (pemimpin) kecuali ketika , "kalian melihat kekufuran
secara nyata, yang dapat kalian ketahui dari keterangan Allah mengenai hal
tersebut". (muttafaqun 'alaihi)

Hadits ini menyatakan bahwa
kaum muslimin tidak boleh merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali jika
mereka melihat adanya kekufuran yang nyata pada kekuasaannya, yang mana
kekufuran itu dapat dibuktikan secara pasti melalui dalil-dalil yang Allah
jelaskan. Dengan semua ini perkaranya menjadi jelas, bahwa kholifah itu dipecat
ketika kufur atau membiarkan begitu saja kekufuran tampak nyata dalam
kekuasaannya. Ini karena lafadz kufran bawaahan merupakan sususan nakirah
maushufah (kata benda tak tentu yang diiringi kata sifat) yang berarti
segala macam bentuk kekufuran yang bersifat nyata, baik berupa pengabaian hukum
Allah secara global/keseluruhan, pemberlakuan hukum kufur, pencabutan hukum
rinci yang qoth'i, atau membiarkan fenomena kekufuran tampak nyata dalam
kekuasaannya, semuanya menunjukkan adanya kufran bawahan.[20]
Jika fenomena seperti itu tampak, maka kholifah harus dipecat, dan apabila
bersikeras dengan jabatannya maka ia wajib diperangi oleh kaum muslimin.
Sedangkan di antara bentuk kekufuran nyata yang terjadi pada diri seorang
pemimpin adalah mengingkari hukum-hukum Allah dan tidak mau menegakkan
hukum-hukum itu di tengah-tengah kehidupan umat, sebagaimana firman Allah:

وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"barang siapa tidak
berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah (karena ingkar) maka mereka
itulah orang-orang yang kafir" (Al Maidah ayat 44)

Dan di antara tindakan
pengingkaran terhadap hukum-hukum dalam kitabullah adalah mengingkari dan
mengabaikan kewajiban penegakkan sholat. Demikianlah, yang demikian itu
merupakan fenomena munculnya kekufuran yang nyata, sehingga menjadi sebab
dipecatnya seorang kholifah, meski harus dengan peperangan.

Peringatan: Namun perlu ditegaskan,
bahwa ketentuan memerangi penguasa yang murtad atau yang mencabut hukum-hukum
Allah, atau membiarkan kekufuran mengemuka secara nyata dalam kekuasaannya ini
hanya berlaku di dalam negara Islam (khilafah) dan tidak berlaku pada negara
yang memang pada asalnya sudah sekuler, seperti negara-negara yang berdiri di
negeri-negeri muslim dewasa ini. Artinya, ketentuan ini hanya berlaku bagi
negara yang memang pada asalnya menjadikan Islam sebagai aqidah bagi sistemnya
dan sebagai sumber bagi hukumnya, kemudian pada suatu saat kholifahnya murtad
atau mencabut pemberlakuan hukum Allah. Dalam kasus ini yang terjadi adalah
adanya seorang pemimpin yang menyimpang, sehingga harus diluruskan, meski
dengan pedang. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam ketika Musthofa
Kamal meruntuhkan Khilafah pada dekade 20-an. Adapun negara sekuler yang saat
ini tidak menerapkan hukum Allah, maka solusinya bukan diperangi, tapi
didakwahi agar berubah menjadi negara Islam. Karena dalam kasus terakhir ini kesalahannya
bukan hanya pada pemimpinnya semata, tapi juga pada asas berdirinya negara yang
tidak benar. Maka asas harus diubah terlebih dahulu melalui dakwah[21].



Kesimpulan

Demikianlah, negara khilafah
itu salah satunya dicirikan dengan konsep kedaulatan di tangan syara', bukan di
tangan rakyat atau pun di tangan kholifah. Wallahu a'lam

[by Ttx]










[1] An Nabhaniy, Taqiyuddiin An Nabhaani. 2002. Nidzomul
Hukmi Fil Islam. Cet VI. Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Empat Karakter itu
beliau sebut sebagai Al Qowaidul Hukmu, kaidah dasar sistem pemerintahan
Islam, yakni: kedaulatan bagi syara', kekuasaan bagi umat, wewenang adopsi
hukum bagi kholifah, dan kesatuan kepemimpinan bagi seluruh umat islam.





[2]
Lihat: Budiarjo, Prof. Miriam. 2004. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta;
Al Kholidi, Dr. Abdul Majid. 2004. Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam. Al
Azhar Press. Bogor





[3]
Lihat: Mufti, Dr. M. Ahmad dan Dr. Sami Sholih Al Wakil. 2002. Formalisasi
Syariah Dalam Kehidupan Bernegara. Media Pustaka Ilmu. Yogyakarta;
Al Kholidi. 2004.





[4]
Bandingkan dengan: An Nabhani, Taqyuddiin. 2002 ; Al Kholidi, 2004





[5] Al
Kholidi. 2004





[6]
Sesuatu yang secara syar'i memiliki fakta sejak awal tapi baru disebut dengan
istilah tertentu pada masa berikutnya itu banyak sekali, antara lain adalah
istilah as sunnah yang digunakan di kalangan ushuliyuun
(ahli ushul fiqh) yang dimaknai sebagai segala sesuatu yang dikaitkan kepada
Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan, mau pun
taqrir (maa udhiifa ilan Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam -min fi'lin, aw
qoulin, aw taqriirin). Fakta bahwa perbuatan, perkataan dan taqrir nabi
shollallaahu 'alaihi wa sallam merupakan sumber hukum dan objek ittiba' telah
dipahami sejak awal. Hanya saja, pada masa awal belum ada istilah khusus yang
digunakan untuk menyebut fakta as sunnah itu (perkataan, perbuatan, dan taqrir
beliau shollallaahu 'alaihi wa sallam). Istilah as sunnah baru digunakan
secara khusus untuk menyebut fakta itu pada masa belakangan, ketika ilmu ushul
dan fiqh mulai berkembang. Begitu pula dengan pokok bahasan hukum halal-haram,
sejak awal memang sudah ada, tapi belum disebut dengan istilah ilmu fiqh, baru
pada masa berikutnya ilmu yang mempelajari hukum amali disebut ilmu fiqh.





[7]
Banyak sekali masalah dalam fiqh yang tidak didapat dari teks secara literal,
namun dihasilkan dari proses istiqra' dan tattabu'. Misalnya, para ulama tidak
pernah menemukan ketentuan rukun-rukun sholat termuat dalam satu teks secara
literal. Namun, para ulama melakukan penelitian dan penelusuran secara
komperhensif terhadap dalil-dalil yang terkait dengan sholat, sehingga didapat
pengetahuan mengenai apa saja yang terkategori sebagai rukun sholat. Dan apa
yang tidak.  Contoh lain adalah syarat
apa saja yang wajib dipenuhi agar seseorang bisa diangkat menjadi kholifah
(Islam, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil dan mampu), itu didapat dari
istiqra', tidak ada  nash yang
menyebutkannya dengan rinci seperti itu.





[8]
Ath Thobari, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir. 1995. Jaami'ul Bayaan 'an
Ta'wiil Aayl Qur'aan. Darul Fikr





[9]
Ibnu Kholil, Atho'. 2003. Ushul Fiqh. Pustaka Thoriqol Izzah. Bogor





[10]
Ibnu Katsir, Abu Fidaa' Ismail bin Katsir Al Qurasiy Ad Dimasyqiy. Tt. Tafsiir
Al Qur'aan Al 'Adziim.  Ahlul
Hadits.com





[11]
As Suyuthi, Abu Fadl Jalaluddiin AbudurRahman As Suyuthi Asy Syafi'i. 2006.
Tarikh Khulafa'. Pustaka Al Kautsar. Jakarta





[12]
Al Badri, Abdul Aziz. 2005. Politik Ulama dan Penguasa Islam. Pustaka Setia. Bandung





[13]
Ad Dumaiji, Abdullaah ibnu Amr ibnu Sulaiman. 1987. Al Imaamah Al 'Udzmaa
'Inda Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah. Sebuah Tesis di Univ. Ummul Quraa, Makkah,
yang salah satu pembimbingnya adalah As Sayid Saabiq rahimahullaah, tokoh
dari Jama'ah Ikhwan.





[14]
Sebagian ulama menjelaskan bahwa kholifah dipecat jika: murtad, mengabaikan
atau meninggalkan hukum Allah, kehilangan keadilan (fasiq), kehilangan akal
(gila), dan kehilangan kemampuan (seperti karena menjadi cacat atau ditawan
musuh). Lihat An Nabhaniy, 2001. Bandingkan dengan: Al Mawardi. 2003. Ahkaamush
Shulthoniyah. Darul Haq, Ad Dumaiji 1987.





[15]
Al Kholidi, Dr. M. Abdul Majid. 2002. Baiat Dalam Perspektif Pemikiran Politik
Islam. Al Izzah. Bangil





[16] Ad Dumaiji, 1987





[17] Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban yang harus
diterapkan oleh penguasa dalam rangka menghukum orang yang meninggalkan sholat
karena malas. Imam Malik, Asy Syafi'i dan Ahmad -dalam salah satu riwayat-
mengatakan bahwa penguasa harus membunuh orang yang tidak sholat sebagai suatu
ta'zir. Sedang Imam Ahmad dalam riwayat lain mengatakan bahwa hukuman bunuh itu
karena had murtad, bukan ta'zir. Sedang Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa
penguasa harus memenjarakannya hingga dia mau bertobat dan kembali mengerjakan
sholat. (lihat: Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdur Rahman. 2004. Fiqh Empat
Madzhab/rahmatul ummah fii ikhtilafil aimmah. Hasyimi. Bandung)





[18]
An Nabhaniy, Taqiyuddiin. 2002





[19] Mahakamah Madzolim adalah lembaga peradilan
yang memberikan putusan hukum terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh
kholifah atau petugas-petugas negara terkait dengan wewenang mereka. Mahkamah
ini juga satu-satunya lembaga yang berhak menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap
kholifah. Lihat: Hizbut Tahrir. 2005. Ajhizatu Daulatil Khilafah, filhukmi
wal idarah.  Daarul Ummah
Liththoba'ah wannasyr wattauzi'. Beirut





[20]
Lihat An Nabhani. 2002; Lihat: Al Haikal. Dr. M. Khair. 2003. Jihad dan Perang
Dalam Syariat Islam. Pustaka thoriqul Izzah. Bogor.





[21]
Lihat: Al Haikal. Dr. M. Khair. 2003