Senin, 15 September 2008

EPISODE BARU KEMISKINAN


        Tragis! Begitulah kiranya kata yang pas ketika melihat 'tragedi' pembagian zakat di Pasuruan, Jawa Timur. Diberitakan sudah 21 orang yang semuanya wanita dinyatakan meninggal dunia (Global TV,16/09). Belum lagi puluhan orang korban luka karena terinjak-injak dan kekurangan oksigen.
        Pembagian zakat dengan sejumlah uang tiga puluh ribu rupiah kepada fakir-miskin di sekitar Pasuruan oleh H. Syaikon ternyata menimbulkan korban yang tidak sedikit. Berharap mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, malah banyak berakhir dengan musibah.
Kegiatan rutin pembagian zakat untuk tahun ini ternyata diluar dugaan penyelenggara keluarga H. Syaikon. Jumlah masyarakat yang mencapai ratusan bahkan mungkin ribuan berebut dan berdesakan untuk mendapatkan uang zakat tersebut. Bagaimana melihat fenomena kemiskinan dan pelajaran apa yang bisa diambil, semoga tulisan kecil ini bisa menjadi semacam renungan bersama.

Faktor kemiskinan
        Sangat diakui, kemiskinan bisa disebabkan oleh karena beberapa latar belakang. Sebenarnya banyak ragam pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiyah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM, akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.
Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menjadi fenomena di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Bahkan problem ekonomi sesungguhnya memang bukan kelangkaan (scarcity) melainkan buruknya distribusi. Fakta menunjukkan, kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang tapi karena uang yang ada tidak sampai kepada orang-orang miskin. Juga bukan karena kelangkaan Sumber Daya Alam (SDA), tapi disebabkan oleh distribusi SDA yang tidak merata. Sistem ekonomi kapitalis telah membuat 80 % kekayaan alam, misalnya, dikuasai oleh 20 % orang, sedangkan 20% sisanya harus diperebutkan oleh 80 % rakyat.
Belum lagi kebijakan pemerintah yang telah menaikkan BBM, penarikan subsidi kepada rakyat, melonjaknya harga gas elpiji, dan sebagainya, telah secara kasat mata menaikkan jumlah keluarga miskin. Anehnya ketika angka kemiskinan itu terus bertambah, nampaknya Pemerintah hanya berpikir sesaat dan tidak menyeluruh. Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan Pemerintah hanya sebuah 'propaganda hampa' karena tidak menyelesaikan masalah. Memang uang itu sangat berarti bagi rakyat miskin, tetapi dibandingkan dengan kebijakan Pemerintah yang tetap tidak berpihak kepada rakyat, apalah artinya ? Justeru yang sangat menyedihkan Penguasa yang sekaligus Pemerintah telah memainkan fungsi rakyat sebagai sumber pendapatan buat negara. Ibaratnya rakyat telah dikomersialkan, rakyat membeli kebutuhan hidup kepada Pemerintah dengan harga yang tidak wajar. Bukan fungsi Pemerintah melayani dan memelihara kepentingan rakyat. Pantaslah para analis menyatakan negeri ini telah berubah menjadi corporate-state (negara korporasi). Pemerintah telah 'hijrah' fungsinya sebagai pengayom dan pelayan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi lebih telah memprioritaskan keuntungan dari kapitalisasi atau liberalisasi sektor-sektor publik kepada swasta maupun asing.
Demikian juga kesibukan para elit politik menjelang Pemilu 2009, telah melupakan keberpihakan kepada rakyat. Parpol lebih fokus terhadap cara atau metode pemenangan pemilu, calon legislatif sibuk mengkampanyekan dirinya, sedangkan rakyat masih sibuk memikirkan bagaimana besok memenuhi kebutuhan hidupnya ? Oleh karena itu sangat wajar jika dampak ketidak-percayaan rakyat terhadap parpol ditunjukkan dengan melonjaknya golput dalam beberapa Pilkada diberbagai kota dan kabupaten. Mungkin apatisme rakyat bisa saja tidak berakhir sampai disini.

Menimbang solusi
        Kejadian pembagian zakat yang telah menelan korban jiwa di Pasuruan yang dikoordinasi oleh keluarga H. Syaikon tidak perlu terjadi lagi. Kesiapan panitia dan koordinasi yang rapi pada saat pembagian zakat akan mencegah musibah yang bisa saja terjadi. Koordinasi yang elegan antara tokoh masyarakat, Badan Amil Zakat, dan panitia akan memudahkan pelaksanaan pendistribusian zakat atau sedekah.
Disisi lain,, peristiwa ini menjadi introspeksi bagi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) misalnya tentang fungsi dan efektifitas pembagian zakat atau sedekah yang selama ini berjalan. Bisa juga mengevaluasi jalur distribusi yang efektif agar harta zakat sampai kepada penerimanya. Keberhasilan menuntaskan kemiskinan dan pemerataan zakat bukan mutlak tugas BAZNAS. Ormas atau lembaga amil hanya sebagai fasilitator atau jembatan untuk menyampaikan harta buat fakir dan miskin.
        Jadi, merupakan urgen adalah sikap Pemerintah untuk lebih mengedepankan pembelaan kebutuhan rakyatnya ketimbang investasi maupun liberalisasi kepada pihak swasta asing terhadap aset-aset strategis negeri ini. Kasus terakhir tentang ekspor gas elpiji ke China dengan harga yang sangat murah hingga merugikan 350 trilyun rupiah, sementara rakyat sendiri membeli dengan harga sangat mahal.
        Sistem pemeliharaan urusan rakyat berdasar sekularisme-kapitalis ternyata telah menjadikan rakyat Indonesia semakin miskin. Subsidi kepada rakyat dicabut, hingga akhirnya rakyat harus bersusah payah memenuhi kebutuhannya. Sementara itu para konglomerat hitam tetap menikmati hasil kekayaan alam negeri ini. Semestinya Pemerintah lebih pro-rakyat bukan pro-kapitalis.
        Oleh karenanya, di bulan ramadhan ini, pantaslah kiranya untuk membuka lembaran sejarah peradaban Islam ketika masa khalifah Umar bin Khatab yang telah melakukan inspeksi mendadak ke berbagai wilayah dan akhirnya menemukan orang miskin. Akhirnya belia ra. bersedia memanggul karung berisi makanan dan dibagikan secara langsung kepada orang miskin tersebut. Juga ketika masa khalifah Umar bin Abdul Azis, meski dalam waktu singkat kepemimpinannya mampu menciptakan kesejahteraan dan pemerataan kemakmuran, dengan tidak dijumpainya warga yang miskin, sehingga dana zakat dialihkan untuk membantu pembiayaan pernikahan bagi para pemuda. Sungguh ketika ideologi Islam menjadi landasan dalam pengurusan urusan rakyat maka sangat mungkin kehidupan sejahtera pada masa lampau akan juga ditemui pada masa sekarang, insya Allah. Dengan ajaran Islam yang paripurna tidak akan melahirkan episode baru dalam hal kemiskinan. Wallahua'lam.


       


Tidak ada komentar: