Rabu, 24 September 2008

Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya

Oleh: Adnan Khan

HTI-Press. Selasa 09 September 2008. Sengketa antara AS dan Rusia pada yang dipicu oleh serbuan mendadak Georgia terhadap Ossetia Selatan, kembali mengangkat isu tentang keseimbangan kekuatan adidaya global. Runtuhnya Uni Soviet di tahun 1990 dianggap oleh kaum liberal sebagai saat bersejarah, dimana pemikir seperti Francis Fukuyama berkunjung ke seluruh pelosok dunia untuk mempromosikan bukunya "Akhir Sejarah dan Manusia Terakhir', yang menjelaskan bahwa tidak ada lagi sengketa yang berarti antara Marxisme dan Pasar. Lebih jauh lagi, katanya, Demokrasi Liberal versi Barat telah menjadi 'bentuk pemerintahan yang final bagi kemanusiaan.' Untuk kaum liberal, kemenangan Amerika (AS) sebagai negara kapitalis yang dominan terhadap Uni Soviet sebagai wakil komunisme, menunjukkan superioritas Kapitalisme. Sejak itu, AS telah mengkonsolidasi kekuatannya sebagai negeri Adidaya yang tidak tersaingi dan kaum neokonservatifnya sempat membangun proyek "Abad Amerika Baru", untuk memastikan berlanjutnya superioritas AS di masa mendatang.

Situasi Internasional

Keseimbangan kekuatan global atau situasi internasional adalah struktur hubungan antar negara di dunia. Ini adalah status adidaya dan negara-negara yang bersaing dengannya. Untuk memahami keseimbangan kekuatan global ini, tidak hanya memerlukan pengetahuan tentang negara mana saja yang berstatus adidaya, kebijakannya dan visi misinya, tetapi juga memerlukan pengetahuan hubungan internasional, yang selalu diwarnai persaingan antar sesama negara untuk mencapai status keadidayaan. Ini sebabnya situasi internasional tidaklah stabil dan selalu berubah. Maka analisa apapun terhadap keseimbangan kekuatan global adalah penjelasan terhadap situasi pada waktu tertentu, sehingga analisa tersebut menjadi bagian dari sejarah ketika situasi internasional kembali berubah.

Situasi internasional akan selalu dalam posisi dinamis karena ditentukan oleh kondisi ekonomi-politik beberapa negara dan tergantung dari situasi tertentu yang menyelimutinya. Perubahan situasi dan kondisi tejadi karena suatu negara bisa melemah atau menguat, atau karena hubungan dengan negara lain melemah atau menguat. Dalam hal ini, terjadinya perubahan keseimbangan kekuatan global disebabkan oleh pergeseran keseimbangan kekuatan yang terjadi sebelumnya. Ini sebabnya, memahami status setiap negara yang mempengaruhi situasi internasional adalah dasar untuk memahami keseimbangan kekuatan adidaya global.

Persaingan antar kekuatan dunia telah berlangsung sejak dahulu dan akan terus berlangsung hingga hari kiamat. Dalam masa Mesir kuno yang diperintah oleh para Fir'aun, Mesir adalah negeri adidaya dan bersaing dengan Mesopotamia. Imperium Romawi menjadi negara adidaya dan Imperium Persia bersaing dengannya. Lalu, Daulah Khilafah menundukkan keduanya, Romawi dan Persia sekaligus, dan menjelma menjadi kekuatan adidaya hingga akhir abad ke-18, dan dalam perjalanan sejarahnya sempat berseteru melawan Mongol dan terlibat dalam Perang Salib.

Perancis dan Inggris bersaing dengan Khilafah Utsmaniyah selama hampir 3 abad hingga pertengahan abad-18. Menjelang Perang Dunia I, Jerman menggeser keseimbangan kekuatan global, dan menghadapi persaingan dari Inggris dan Perancis. Setelah Perang Dunia I, Inggris menjadi kekuatan global dan menghadapi persaingan Perancis. Tidak lama kemudian, Jerman menantang Inggris dan hanya berakhirnya Perang Dunia II yang telah menghentikan hegemoni Jerman. Usai Perang Dunia II, AS menjadi pemenang dan menjadi kekuatan adidaya, yang menghadapi persaingan dari Uni Soviet selama 50 tahun, hingga jatuhnya Soviet pada tahun 1990an. Percaturan Politik Antar-Bangsa ('Game of nations') Saat ini AS adalah negeri adidaya dunia, meski mulai melemah ia masih berpengaruh terhadap politik internasional. AS adalah ekonomi terbesar dunia, termaju dalam penguasaan teknologi mutakhir, dan memiliki pangkalan militer yang tersebar diseluruh dunia untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya.

Namun, Amerika mulai menunjukkan kelemahannya dalam perang di Iraq dan Afganistan dan belum memberikan tanda-tanda perbaikan nasibnya. Dua perang tersebut berlangsung dalam waktu yang lebih lama ketimbang Perang Dunia Kedua.  Militer AS yang ditopang kemajuan teknologi mutakhir dalam sejarah dunia, tidak mampu menundukkan musuh yang menggunakan senjata teknologi tahun 1960an. Akibatnya, AS sangat tergantung pada pemerintahan lokal untuk menghindari rasa malu. AS menghadapi banyak sekali tantangan di belahan dunia yang sempat ia dominasi hanya sepuluh tahun yang lalu. Di Timur Tengah, AS sempat menikmati dominasinya disana. Namun akhir-akhir ini AS menghadapi tantangan dari Cina dan Rusia dalam penguasaan minyak di Timur Tengah.

AS juga berkompetisi melawan India, Jepang, dan Uni Eropa untuk mendapatkan emas hitam ini. Bahkan Inggris sempat mengelabui proyek AS dengan alasan kerjasama. Graham Fuller, mantan ketua Konsili Intelijen Nasional menggambarkan nasib Amerika ketika ia menulis di majalah National Interest," banyak negara telah menerapkan multi-strategi dan taktik untuk melemahkan, mengelabui, merubah, meningkatkan kompleksitas, dan membatasi serta menjegal agenda pemerintahan Bush dengan tikaman yang bertubi-tubi."

Cengkeraman Amerika di Afrika juga mulai melemah dari manuver Inggris dan Cina, setelah berakhirnya periode dominasi AS disana selama beberapa dasawarsa. Inggris dibawah pimpinan Tony Blair menggagalkan usaha AS untuk melengserkan Presiden Kabbah, penguasa Sierra Lion. Inggris juga bekerja secara sistematis untuk menyelamatkan kekuasaan Rezim Ghaddafi dari pengaruh kaum neokonservatif Amerika yang menghendaki perubahan rezim paska kejadian September 911. Di Sudan, AS juga gagal untuk memisahkan Sudan Selatan karena Inggris dan Perancis berhasil menggunakan krisis Darfur untuk mempengaruhi Sudan. Di Afrika Selatan, Blair juga bersaing melawan AS untuk menyelamatkan kepentingan Inggris disana. AS juga menghadapi kemungkinan kegagalan bersaing dengan Cina dalam mengembangkan industri minyak di Afrika, yang telah memenangkan tidak kurang dari 100 kontrak yang bernilai 20 bilyun dolar yang bertujuan untuk memastikan stabilitas penyediaan

minyak.

Rusia dan Cina berkembang secara pesat tanpa mengikuti resep demokrasi liberal Barat. Sebaliknya, Rusia justru menantang AS secara terbuka. Misalnya, Rusia menancapkan benderanya di dataran es Antartika, men-tes bom secara masif, dan mempersengketakan sistem pertahanan misil AS di Eropa Timur. Rusia juga merebut kembali status adidayanya dengan dengan menguasai kembali Kazakhstan dan Uzbekistan dari pengaruh AS  dan menghentikan tiga revolusi di negara-negara Asia Tengah.  AS, setelah 20 tahun tidak memiliki saingan berarti, mulai menghadapi tantangan serius dari suatu negara (Rusia) yang menguasai ladang gas dan minyak bumi terbesar di dunia.

Perusahaan yang mampu bersaing dengan AS adalah Rusia, Inggris, Perancis, dan Jerman, dimana ke-empat negara tersebut memiliki ambisi internasional. Rusia dalam dekade terakhir berhasil menguasai sumber mineral dan menundukkan beberapa konglomerat yang sempat menguasai perekonomian Rusia sejak jatuhnya Uni Soviet. Dengan dibekali sumber energi yang luarbiasa, Rusia kini berada dalam fase untuk bersaing dalam meningkatkan teknologi militernya dalam menghadapi AS.

Inggris yang dalam sejarah sempat menjadi negara adidaya masih memiliki pengaruh pada bekas jajahannya. Inggris adalah salah satu pemain penting dalam politik Eropa dan sering menimbulkan kegelisahan pada AS atas kegagalan rencananya di Eropa. Perang Dunia II telah menghabiskan energi Inggris yang sempat melemahkan kedudukan internasionalnya. Pembuat kebijakan Inggris menyadari hal ini dan membangun manuver politik kerjasama ketimbang persaingan secara langsung dengan AS. Inggris melakukannya dengan cara bekerjasama dengan AS di wilayah internasional  di satu sisi. Di sisi lain, Inggris membuat AS frustasi dalam usahanya mendominasi Eropa.

Perancis, selayaknya Inggris, adalah pemain penting lainnya dalam sejarah dan politik Eropa dan kebijakan Perancis diterapkan diseluruh bekas jajahannya dalam bentuk kekuatan budaya dan ekonomi sehingga mampu mempengaruhi Dunia. Perancis yang mendominasi Uni Eropa, berhasil menggunakannya untuk memajukan kepentingan Perancis. Dibawah pimpinan Nicolas Sarkozy, Perancis membangun pangkalan militer di Teluk dan bekerjasama dengan AS di Lebanon dan konflik Russia-Georgia.

Jerman adalah negara ketiga terbesar ekonomi dengan nilai 2,7 trilyun dolar dan menjadi ekonomi termaju di Eropa. Di tahun 2004, Jerman adalah eksportir terbesar dunia dengan nilai 912 bilyun dolar. Ekonomi Jerman juga melakukan ekspansi terutama di wilayah Eropa Timur, dengan penerapan sederet kebijakan ekonomi. Jerman juga melakukan peran penting dalam negosiasi pertukaran tawanan perang antara Israel dengan pejuang Hezbullah. Jerman juga menempatkan armada Angkatan Lautnya dalam invasi Israel di Lebanon pada tahun 2006, yaitu frigat Mecklenburg-Vorpommern dan Karlsruhe, yang didukung dengan helikopter, kapal logistik dan perahu patroli dengan kekuatan 1500 personil. Ini adalah penempatan militer terbesar Jerman sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Masalahnya, Jerman memandang dunia dari perspektif Uni Eropa, sedangkan Inggris dan Perancis menggunakan Uni Eropa untuk memajukan  kepentingan nasional masing-masing.

Kekuatan yang sedang Naik Daun

China adalah salah satu negara yang bersaing melawan AS dan memiliki pengaruh yang cukup penting, namun Cina masih merupakan kekuatan lokal. Andai saja Cina tidak memiliki ambisi internasional yang sempit, Cina mungkin bisa bersaing melawan AS secara langsung. Hal ini mungkin saja terjadi dalam waktu dekat. Jepang adalah kekuatan ekonomi dengan jumlah besar di dunia setelah AS, akan tetapi Jepang tidak memiliki pengaruh selain pengaruh ekonomi. Kebijakan Jepang untuk turut serta dalam koalisi pendudukan Afganistan dan penghapusan pasal tentang sikap pasifisme dalam konstitusi Jepang sehingga mampu menempatkan pasukan diluar Jepang, sebenarnya adalah bentuk manuver AS untuk mengimbangi Cina. Pengaruh Jepang,tidak lain adalah kepanjangan tangan dominasi AS di Asia, dan bukan dari Jepang itu sendiri.

Di samping para negara adidaya, ada juga negara-negara yang memiliki pengaruh terbatas di wilayah masing-masing dan bersifat sesaat saja. India, misalnya, memiliki jumlah populasi dunia yang besar dan memiliki senjata bom nuklir dan memiliki potensi untuk berpengaruh di wilayah sekitarnya. Namun India tidak sehebat yang media promosikan dan masih terletak diposisi buncit dari daftar negara adidaya. Italia pun masih memiliki pengaruh di dunia, karena ia pernah menjadi negara adidaya sebelum Perang Dunia Kedua, meski hanya sesaat.

Kesimpulan

Inilah situasi keseimbangan kekuatan adidaya global yang bisa berubah sewaktu-waktu. Maka, memahami sejarah dari negara adidaya, bagaimana ia berkembang, kepercayaan dan nilai yang ia yakini, serta ideologi yang ia emban akan memudahkan seseorang untuk mengetahui motivasi dari negara tersebut. Negara-negara tersebut saling bersaing sesama mereka dan juga melawan AS. Situasi internasional ini juga bisa dipahami sebagai persaingan global sesama negara adidaya untuk mengamankan kepentingan mereka masing-masing.

Perlu diingat bahwa perubahan yang terjadi disetiap negara selalu bersifat dinamis, karena melalui berbagai perubahan, seperti naik turunnya kekuatan dan kelemahan, tingkat pengaruh diantara sesama negara, dan hubungan internasional diantara mereka. Itu sebabnya akan sulit untuk membuat konsep analisis yang permanen dalam memahami situasi internasional pada setiap masa karena keniscayaan perubahan. Akan tetapi, menganalisa situasi internasional dimungkinkan selama selalu mengingat bahwa situasi bisa berubah sewaktu-waktu. Begitu juga untuk menganalisa kekuatan adidaya negara tertentu bisa saja terjadi selama menyadari bahwa analisa tersebut bisa saja berubah.

Krisis perang di Iraq dan Afganistan telah menimbulkan keraguan terhadap kekuatan AS secara serius. AS terlihat sangat tergantung kepada negara lainnya, dan juga semakin rentan terhadap krisis di dalam negerinya sendiri. Bangkitnya Rusia menimbulkan tantangan serius terhadap AS, karena Rusia memiliki sumber daya energi yang bisa digunakan untuk menyandera Eropa. Di sisi lain, Cina masih terisolasi di wilayahnya, meskipun mulai menampakkan tanda-tanda untuk bersaing melawan AS, sebagaimana terjadi di Afrika. Meskipun demikian, Cina tidak memiliki sejarah atau merujuk ke ideologi tertentu yang mampu menghantarkannya ke tampuk adidaya yang bisa menguasai dunia. Demikian pula India, dimana India memberikan ancaman yang sangat tidak berarti dan ia masih disibukkan oleh perseteruan kaum nasionalis Hindu melawan kaum menengah ke atas yang pro Barat, sehingga visi dan misi negara tersebut masih tidak jelas.

Pemikir AS dan pembuat kebijakan di dunia Barat masih terus mengutip tuntutan terhadap tegaknya Shariah di dunia Islam sebagai bentuk ancaman jangka panjang yang akan dihadapi oleh AS. Intel AS memperkirakan  bahwa Khilafah akan bangkit sekitar tahun 2020. Perang melawan teror pun semakin membuka kedok jatidiri perang sebenarnya, yaitu perang melawan Islam. Padahal umat Islam saat ini pun belum diwakili oleh suatu Khilafah. Maka, sebagai antisipasinya terhadap potensi bangkitnya Khilafah, mereka akan terus melancarkan perang ideologis untuk menundukkan pemikiran dan memenangkan perasaan umat Islam di seluruh dunia, sebelum Khilafah akan benar-benar menjadi kenyataan.***

Tidak ada komentar: