Senin, 15 September 2008


MENILAI 'INSIDEN MONAS'
Oleh. Imam Sutiyono
(Pemerhati Masalah Sosial & Politik, tinggal di Serang, Banten)

        Momentum Lahirnya Pancasila 1 Juni 2008 'terpaksa' harus selalu dikenang oleh rakyat Indonesia. Sebuah 'prestasi' di era reformasi, dimana supremasi hukum masih menjadi nilai yang mahal. Aksi damai untuk menyuarakan pendapat berujung bentrokan dari masa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) dan Komando Laskar Islam (KLI) dengan mayoritas anggota Front Pembela Islam (FPI). Korban luka-luka dan trauma sepertinya akan terus dikenang.
        Untuk kesekian kalinya aksi-aksi sebagai upaya kebebasan berekspresi sepertinya terus menelan korban. Akan tetapi bagaimana sebenarnya menilai 'Insiden Monas Kelabu' itu secara fair tanpa tendensi yang berlebihan? Kiranya tulisan kecil ini dapat membuka wawasan keberagamaan dan bersikap obyektif.

Kebebasan berpendapat.
        Sebagai pilar-pilar demokrasi, kebebasan berpendapat adalah hak asasi setiap insan. Berpendapat, berekspresi dan bahkan berdemonstrasi itu menjadi tradisi dalam proses check and balance terhadap sesuatu yang terjadi. Kebijakan pemerintah atau institusi apapun bisa dikritisi tanpa harus merasa takut karena ini dijamin oleh Undang-undang yang berlaku. Dalam pasal 28 UUD'45 pun telah jelas memberikan luang bagi proses kritik itu.  Akan tetapi terkadang kebebasan yang dimaksud tidak tepat dalam pemaknaannya, atau cenderung dipaksakan.
        Di setiap negara di dunia ini tentu punya standar kebebasan. Eropa dan negara Asia terkadang berbeda dalam menafsirkan makna kebebasan. Ini juga yang sering menjadi propaganda Barat atau Eropa dalam menjustifikasi sebuah aksi, apa merupakan kebebasan atau justeru pemaksaan! Inilah yang setiap negara punya streotip kebebasan tersendiri berbeda dengan di tempat lain. Anehnya kebebasan yang dijajakan bangsa Barat sering tidak adil dan cenderung menetapkan standar ganda sesuai makna yang diinginkannya.
        Berkaca dari pemahaman diatas, maka kebebasan yang patut dijunjung tinggi oleh NKRI adalah kebebasan yang berbasis pada nilai-nilai moral dan agama. Harus dibedakan antara kebebasan atau sebuah ekspresi pendapat dengan sebuah aksi yang menodai sebuah ajaran atau bahkan menyimpangkan sebuah pemahaman yang sudah baku.
        Terkait dengan ini, kalau aksi AKK-BB meski secara tersamar bermaksud membela Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) bisa jadi ini menjadi akar masalahnya. Provokasi AKK-BB terhadap ormas Islam terutama FPI saat aksi Monas menyulut bentrokan. Perbedaan pendapat menjadi ancaman bahkan anarkisme jika tidak ditempatkan pada proporsinya. Mengail di air keruh maslah Ahmadiyah ini yang patut diwaspadai oleh komponen bangsa. Sebenarnya hal ini tidak akan terjadi jika tepat dalam memahami secara mendalam arti sebuah kebebasan.
Sehubungan dengan kasus JAI, tokoh NU sendiri KH Hasyim Musadi menyatakan secara singkat penodaan agama tidak dibenarkan dan akan menyakiti perasaan umat. Bahkan beliau menganologikan kalau sebuah ajaran agama disimpangkan atau dibengkokkan, maka secara otomatis pengikutnya akan emosi. Oleh karena itu sejatinya penyimpangan agama tidak sama dengan arti kebebasan dalam beragama atau berpendapat, tetapi ini penodaan agama. Jikalau kondisi JAI sudah melenceng dari Islam, maka sikap pemerintah dalam hal ini Presiden semestinya dengan sigap mengeluarkan SKB Pembekuan JAI. Dengan itu, maka konflik horizontal diantara komponen masyarakat tidak akan meluas dan korban-korban dapat diantisipasi.
'Kecelakaan' dalam memaknai kebebasan ternyata menuai banyak korban. Insiden Monas kelabu hingga kini meluas ke berbagai daerah dengan melibatkan massa yang lebih besar lagi. Sementara itu peran tokoh masyarakat masih belum optimal dalam meminimalisir jatuhnya korban. Disinilah arti kebebasan menjadi ternoda baik oleh kalangan yang memang tidak shahih dalam menafsirkan idiom freedom of speech  dan juga kalangan tertentu buah dari terprovokasi. Melihat itu semua yang dirugikan bukan satu kelompok saja, melainkan melibatkan komponen anak bangsa lainnya dengan korban fisik dan non fisik.

Pengalihan masalah
        Insiden Monas bisa jadi landasan Pemerintah untuk lebih tanggap terhadap masalah sensitive umat, apalagi proses pelarangan organisasi JAI sudah berjalan lama. Rekomendasi MUI sejak 1980 dan negara-negara mayoritas Islam yang telah melarang kelompok Ahmadiyah patut menjadi pertimbangan matang dalam memutuskan masalah ini. Jangan sampai masalah ini berlarut-larut karena banyak para analis memprediksi adanya insiden Monas sebagai pengalihan masalah dari kebijakan pemerintah yang timpang.
Protes keras atas kenaikan BBM yang cukup meluas sepertinya larut oleh insiden 1 Juni lalu. Diakui atau tidak, banyak sinyalemen mengarah pada sebuah kesimpulan kekerasan adalah kriminalitas yang harus dihapuskan dan diberikan hukuman setimpal. Meski berbagai kalangan juga termasuk KLI dan ormas-ormas Islam sendiri menganggap Ahmadiyah sama telah melakukan 'kriminalitas' dan penodaan atas ajaran Islam yang murni. Dan ini pun semestinya menjadi perhatian serius pihak aparat apalagi Presiden sebagai pemegang keputusan SKB itu masih lamban bersikap.
Pengalihan masalah dari penolakkan kenaikan BBM menjadi anarkisme insiden Monas berlanjut menuju pembubaran FPI adalah sebuah kesimpulan prematur. Disudut yang lain konflik antar ormas FPI dan derivat NU adalah nyata. Akankah sikap-sikap arogansi itu ditinggalkan sebagai implementasi cinta kebebasan berekspresi? Semoga konflik cepat tertangani oleh aparat dan akhirnya masalah utama tentang SKB pembekuan Ahmadiyah tidak lama lagi dikeluarkan. Jangan sampai mundur lagi hingga korban-korban anak bangsa akan berjatuhan.

Tidak ada komentar: