Rabu, 24 September 2008

SYARIAH, PARPOL, DAN PERUBAHAN


        Diskursus Islam dan Politik dalam ketata-negaraan Indonesia sepertinya mulai menemui titik terang. Survei yang pernah dilakukan  oleh Roy Morgan Research pada awal 2008 melibatkan 8000 responden dari seluruh negeri, menentukan bahwa 52 persen orang Indonesia mengatakan syariat Islam harus diterapkan di wilayah mereka. Ini menguatkan data sebelumnya bahwa dari survei yang dilakukan oleh aktivis gerakan nasionalis pada tahun 2006 sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariat Islam sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Bahkan pada tahun sebelumnya yaitu 2003, hasil penelitian yang dilaksanakan oleh PPIM-UIN Jakarta mencatat 74 persen rakyat Indonesia menghendaki penerapan Syariat Islam. Data ini juga diperkuat oleh hasil pengkajian SEM (Shariah Economic Management) Institute Jakarta menunjukkan rakyat setuju penerapan Syariat Islam di Indonesia sebesar 83%.
       
Karakter parpol

        Pilkada yang saat ini marak di berbagai tempat menyimpan banyak problem. Disamping makin tajamnya konflik horisontal antar pendukung calon, juga makin rendahnya partisipasi masyarakat yang diindikasikan oleh tingginya angka golput. Diakui atau tidak, muncul beragamnya parpol peserta Pemilu 2009 dari parpol Islam, tidak mengubah apatisme masyarakat terhadap parpol yang ada. Dan bisa jadi kondisinya sangat menghawatirkan dan diindikasikan pada titik nadir. Munculnya angka Golput yang terus memenangi berbagai Pilkada di kota-kota dan kabupaten selama tahun ini mungkin menjadi indikasinya. Harapan perubahan bagi kehidupan rakyat sepertinya hanya impian di siang hari bolong. Kesejahteraan, sembako murah, kesehatan dan pendidikan gratis, hanya sekedar janji di masa kampanye. Selebihnya kebutuhan rakyat justeru semakin mahal dan langka. Akibat konversi gas saja, semakin banyak rakyat miskin yang terabaikan kebutuhan minyak tanah, belum lagi dampak simultan akibat kenaikkan BBM yang semakin dirasakan dalam segala aspek kehidupan. Ibarat lirik H. Rhoma Irama; yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya, begitu kiranya.

        Oleh karenanya, adanya parpol Islam atau Nasionalis dalam demokrasi Indonesia, sepertinya sama saja buat rakyat. Bahkan ada indikasi yang cukup mengherankan, keinginan rakyat akan penerapan syariat Islam tidak mewujud dalam dukungan terhadap parpol Islam. Dari penelitian Indo Barometer (2008) menunjukkan persepsi masyarakat bahwa tidak ada bedanya antara parpol Islam dengan parpol lain sebanyak 43.3%, sedangkan perilaku elit / parpol Islam sama dengan parpol lain melampau angka 34.8%.
Data-data tadi sebenarnya bisa menggambarkan bagaimana karakter parpol sangat menentukan atas posisi kepercayaan dari rakyat. Pembelaan yang minim bahkan bisa dikatakan sangat kurang atas rakyat menjadikan rakyat tidak percaya lagi atas perilaku parpol. Lihat saja pembelaan parpol-parpol yang ada ketika Pemerintah mengeluarkan kebijakaan kenaikan BBM, siapa yang menentang? Kalaupun ada hak angket tentang kenaikan BBM, sepertinya tidak nyaring terdengar. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa kepedulian parpol akan nasib rakyat atau mungkin pendukung nya sangat rendah. Padahal rakyatlah yang telah memilih dan berharap banyak akan perubahan yang semakin membela kepentingan wong cilik. Malahan semakin menjadi kepanjang-tanganan dari para kapitalis atau pengusaha, yang mungkin telah menjadi sponsor parpol-parpol yang ada. Privatisasi terhadap aset-aset strategis dan potensial negara kepada swasta asing semakin menambah betapa DPR selalu mengiyakan para kapitalis asing atas nama liberalisasi dan perdagangan bebas dunia. Dan kepentingan rakyat lagi-lagi dinomer-sekian-kan diatas kepentingan para kapitalis asing.
Jadi memang benar, karakter parpol yang sangat peduli kepentingan rakyat menjadi dambaan masyarakat. Anti korupsi, bukan antek asing, amanah, jujur, dan pro syariah, semuanya bisa jadi menjadi sifat parpol yang ideal, disaat kredibilitas parpol yang ada sangat menghawatirkan. Parpol yang ada sangat jauh dari sifat-sifat umum yang diinginkan rakyat. Karakter yang khas dari parpol ideal seperti diatas memang tumbuh bukan dalam sekejap, akan tetapi membutuhkan proses. Disaat-saat ramai iklim koalisi antar parpol pun selalu mempertimbangkan karakter dari parpol yang ada, terkait dengan ideologi atau asas parpol maka parpol akan memprioritaskan, bukan malah meninggalkan demi sebuah kekuasaan. Lihatlah parpol yang ada, tampuk kekuasaan menjadi tujuan nomer wahid, parpol yang secara ideologis pun 'melebur' dalam koalisi. Tentu ini sebuah langkah yang patut direnungkan, mengingat ada kader-kader ideologis yang bisa saja hengkang karena parpol sudah 'kehilangan' khittah politiknya. Munculnya parpol baru yang ideologis seiring denyut reformasi bisa menguatkan sinyalemen itu. Bahkan masyarakat sangat rindu akan parpol yang ideologis selalu bersama dan demi kepentingan rakyat bukan kapitalis asing.
Sedangkan tantangan parpol Islam, menurut analisis Pakar Politik LIPI, Lili Romli, yang patut mendapat sorotan adalah pertama, di kalangan umat Islam telah terjadi perubahan orientasi dalam pandangan politiknya. Umat Islam tidak lagi melihat parpol Islam sebagai representasi keislaman, tetapi yang dilihat sejauh mana suatu partai menerapkan nilai-nilai keislaman. Parpol Islam yang ada mungkin bisa mencerminkan parpol yang moderat, dalam arti tidak bersifat ideologis, hanya memang para inspirator dan pendukungnya mayoritas muslim.
Kedua, mitos politik kuantitas. Adanya pandangan  bahwa  mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dengan serta merta mereka akan memilih partai Islam. Ternyata mitos tersebut tidak sampai pada realitas. Sejarah dari pemilu ke pemilu membuktikan bahwa dukungan umat Islam terhadap partai Islam kecil. Apabila kita merujuk pada survei Indo Barometer pada Juni 2008 lalu, ternyata prediksi perolehan parpol Islam masih relatif kecil. Dalam survei tersebut, perolehan PKS pada posisi 7,2 persen, sementara PPP pada posisi 2,3 persen. Jika survei Indo Barometer ini bisa menjadi salah satu patokan maka parpol Islam dalam menghadapi Pemilu 2009 masih sangat berat.
Ketiga, tidak semua umat Islam bersifat ideologis. Artinya bahwa umat Islam tidak memiliki pandangan yang sama bahwa Islam adalah sebuah ideologi. Dengan Islam sebagai ideologi maka diperlukan alat perjuangan melalui pembentukan partai politik Islam. Ternyata secara umum umat Islam tidak memiliki pandangan seperti itu. Begitu juga tidak semua yang mengerti politik Islam terjun dalam politik praktis, maksudnya ajang Pemilu lima tahunan. Masih ada anggapan ditengah masyarakat perjuangan Islam ideologi tidak mesti masuk parlemen. Jalan ekstra parlemen menjadi alternatif dalam usaha merubah tatanan kenegaraan yang sudah rapuh didalamnya. Berintegrasi dalam sistem demokrasi yang ada bahkan bisa melemahkan posisi umat Islam dan ajarannya. Kompromi dalam perundangan yang melegalkan sesuatu kemaksiatan atau kemungkaran, bisa jadi contoh faktual yang sangat ketara.

Arah Perubahan
        Berkompetisinya parpol dalam setiap Pemilu menghendaki sebuah perubahan yang signifikan. Trilyunan rupiah sudah digelontorkan untuk dana Pemilu. Sedangkan tahun 2008 misalnya, akan dilaksanakan 160 Pilkada di 13 Provinsi, 112 Kabupaten dan 35 Kota. Itu artinya, tahun ini saja hampir 3 hari sekali orang Indonesia mengikuti Pilkada. Indonesia memiliki 33 Provinsi dan sekitar 440 kota/kabupaten. Perlu juga dicatat, biaya tersebut belum termasuk biaya kampanye para kandidat yang masing-masing pasangan calon bisa menghabiskan dana milyaran hingga puluhan milyar rupiah. Sehingga, kalau dikalkulasikan angkanya mencapai angka trilyunan rupiah. Angka yang sangat, bahkan terlalu besar, apalagi di tengah jutaan masyarakat yang masih mengalami kemiskinan, menderita gizi buruk, bahkan mati karena kelaparan.
Dari hasil itu semua, tidak akan sebanding dengan perubahan yang sudah dicapai. Berharap perubahan ideal dari hasil Pemilu atau Pilkada setiap waktu tidaklah terbukti. Banyak dana dikeluarkan, tetapi hasil tidak maksimal. Belajar dari ketiga tantangan yang mungkin ada dan eksis di era sekarang, kiranya bisa diberikan jalan solusi agar tantangan yang ada menjadi semacam cambukan bahwa harus ada revolusi dalam karakter parpol dan edukasi politik yang shahih, sehingga semua komponen umat harus saling melengkapi menuju perubahan fundamental sistem ketatanegaraan yang ada.
Bukan tidak mungkin perubahan politik menuju Indonesia lebih baik di mata dunia internasional akan segera terwujud. Berharap kepada sistem kapitalisme yang ada hanya mempertahankan krisis dan problem yang ada. Mencari akan alternatif sistem kenegaraan menjadi hal yang patut direnungkan. Bukan merupakan keniscayaan juga ketika  syariah menjadi masa depan politik Indonesia sesuai survei yang ada. Wallahua'lam bishowab.

Tidak ada komentar: