Kamis, 27 November 2008

MENILAI AGEN ASING

        Baru-baru ini, publik dihebohkan oleh kemunculan berita seputar keterlibatan atau tidak seorang Adam Malik dalam CIA. Berita itu muncul bukan tiba-tiba, tetapi melalui sebuah buku oleh Tim Weiner yang berjudul Kegagalan CIA: Spionase Amerika Sebuah Negara Adi Daya. Buku yang judul aslinya Legacy of Ashes ini mengutip perkataan Clyde Mc Avoy, pejabat tinggi CIA yang menyatakan telah merekrut Adam Malik sebagai agen dan mengontrolnya. Lewat Adam Malik ini pula konon CIA mengucurkan dana 10 ribu US dollar untuk membiayai aksi pembasmian Gestapu.

Perlu diketahui, Tim Weiner sendiri bukanlah penulis amatiran. Disamping berpengalaman menjadi wartawan The New York Times, Weiner mengatakan telah melakukan investigasi dalam waktu yang lama. Menurutnya buku ini bersifat on the record, tidak ada sumber tanpa nama, kutipan tanpa identitas pembicara atau gossip. Weiner juga dikenal penulis handal yang pernah mendapat penghargaan.

Tidak kalah mengejutkan, sebuah tokoh bangsa ini ketika diwawancarai oleh media nasional, Gubernur Lemhamnas Muladi: tidak tertutup kemungkinan ada agen CIA dalam kabinet SBY. Menjadi agen asing sama dengan pengkhianat, komprador, sangat berbahaya. Hukumannya berat. (RM, 26/11/08)

Terlepas dari itu, tulisan dibawah ini bukanlah untuk menghakimi keterlibatan seorang Adam Malik atau tidak dalam CIA dan itu tidak mudah, tentu biarlah yang berwenang yang menetapkannya. Tulisan ringkas ini hadir untuk mencoba menyikapi berbagai fenomena yang ada dan memberi informasi yang berimbang, boleh jadi ternyata agen-agen asing berkeliaran ditengah rakyat!

Fenomena agen asing

        Sudah bukan menjadi rahasia lagi, ketika sebuah adidaya eksis, kelompok-kelompok yang mencoba meruntuhkannya akan selalu berusaha sekuat tenaga disertai berbagai strategi yang memungkinkan. Tenggoklah sejarah kejayaan Khilafah Turki Ustmani (Barat menyebutnya Dinasti Ottoman), melalui Inggris dan Perancis, dua negara ini berkolaborasi dengan berbagai strategi untuk meruntuhkan Penguasa Khilafah Turki. Dan ternyata berdirinya negara kerajaan Saudi Arabia misalnya tidak lepas dari campur tangan asing. Pada tahun 1902, Abdul Aziz menyerang dan merebut kota Riyadh dengan membunuh walinya (Gubernur Khilafah ar-Rasyid). Pasukan Aziz terus melakukan penaklukan dan membunuh pendukung Khilafah Utsmaniyah dengan bantuan Inggris.

Salah satu sahabat dekat Abdul Aziz Abdurrahman adalah Harry St. John Pilby, yang merupakan agen Inggris. Philby menjuluki Abdul Aziz bin Abdurrahman sebagai "Seorang Arab yang Beruntung", sementara Abdul Aziz menjulukinya dengan "Bintang Baru dalam Cakrawala Arab". Philby adalah orang Inggris yang ahli Arab yang telah lama menjalin hubungan baik dengan Keluarga Sa'ud sejak misi pertamanya ke Nejed pada tahun 1917. Pada tahun 1926, Philby tinggal di Jeddah. Dikabarkan kemudian, Philby masuk Islam dan menjadi anggota dewan penasihat pribadi Raja pada tahun 1930.

Kerjasama Dinasti Sa'ud dengan Inggris tampak dalam perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah (20 Mei 1927). Perjanjian itu, yang dirundingkan oleh Clayton, mempertegas pengakuan Inggris atas 'kemerdekaan lengkap dan mutlak' Ibnu Sa'ud, hubungan non-agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Sa'ud atas kedudukan Inggris di Bahrain dan di keemiran Teluk, serta kerjasama dalam menghentikan perdagangan budak (Lihat: Goerge Lenczowsky, Timur Tengah di Tengah Kencah Dunia, hlm. 351). Dengan perlindungan Inggris ini, Abdul Aziz (yang dikenal dengan Ibnu Sa'ud) merasa aman dari berbagai rongrongan. Begitulah sekelumit sejarah peradaban emas Khilafah Turki yang hancur oleh bantuan agen-agen Inggris, meski bernama sebuah raja.

Di era modern sekarang, skenario negara-negara kapitalis dalam menanam agenya tidaklah jauh berbeda, meski dengan strategi yang halus 'soft power'.  Yang penting melakukan propaganda sistematis negara-negara kapitalis dengan memanfaatkan kelompok-kelompok yang menjadi komprador (kaki tangan) negara penjajah ini. Para komprador ini kemudian membuat LSM-LSM yang secara sistematis dan terus-menerus merongrong martabat dan kedaulatan bangsa. Tidak lupa juga menentang penegakkan syariat Islam dan memberikan citra negatif terhadap syariat Islam di negeri-negeri Islam.

Ironisnya, di sisi lain, LSM-LSM ini diam terhadap perlakukan kejam negara-negara penjajah kapitalis Barat, padahal mereka mengklaim sebagai pendukung dan penegak demokrasi dan HAM. Mereka diam terhadap pembunuhan ratusan ribu rakyat sipil di Irak, Afganistan, Palestina, dan negeri negeri Islam lain yang dilakukan oleh AS dan sekutunya yang mengklaim sebagai penegak demokrasi. Mereka juga diam terhadap penangkapan, pemenjaraan, dan penyiksaaan manusia yang dituduh secara sepihak oleh AS sebagai teroris. Mereka diam terhadap ulah AS di Guantanamo (Kuba) dan penjara-penjara lainnya.

Kelompok-kelompok ini mengecam syariat Islam akan membawa penderitaan bagi rakyat. Namun, mendukung habis-habisan kebijakan negara kapitalis dan liberal seperti AS, meskipun itu membuat penderitaan yang mendalam bagi rakyat. Di Indonesia, kelompok liberal secara demonstratif membuat iklan mahal di sebuah koran nasional, satu halaman penuh, yang mendukung kebijakan negara menaikkan harga BBM. Mereka tidak punya nurani lagi. Padahal, semua tahu, kenaikan BBM telah menyengsarakan masyarakat dan memiskinkan secara struktural.

Para komprador negara kapitalis ini menyerang penerapan syariat Islam dan menyebutnya akan memecah-belah bangsa. Namun, membiarkan negara-negara kapitalis mengintervensi negara ini sehingga negara ini terancam pecah. Mereka membiarkan negara-negara asing mengobok-obok Indonesia --seperti di Papua, Maluku, dan Aceh-- atas nama HAM dan demokrasi. Kelompok komprador ini menutup mata bahwa ide liberal seperti menentukan nasib sendiri telah menjadi senjata ampuh bagi Timor Timur untuk melepaskan diri dari Indonesia.

Negara-negara Barat pun tidak segan-segan memanfaatkan para penguasa di negeri-negeri Islam untuk melakukan upaya pemberangusan terhadap penegakan syariat Islam, padahal merupakan sebuah keyakinan. Mereka mendukung penuh para penguasa diktator seperti Husni Mubarak di Mesir, Karimov di Uzbekistan, atau Musharaf di Pakistan untuk bertindak represif terhadap pejuang-pejuang syariat Islam.

Untuk data yang cukup faktual dalam negeri adalah bagaimana kelompok liberal, tentu dengan dukungan seperti Australia, Inggris dan Amerika, sudah tanpa malu-malu lagi memberikan penolakkan RUU Pornografi (yang sebenarnya merupakan kompromi juga antara kalangan liberal dan Islam) saat akan diundangkan menjadi UU Pornografi. Usaha untuk menjaga martabat bangsa justeru dilawan oleh LSM-LSM komprador atau agen asing dengan mengatasnamakan seni, adat, dan budaya.

Bahkan yang cukup ketara ketika menjadi bagian dari agen asing sesungguhnya adalah sikap para pejabat atau penguasa yang obral aset negara seperti gas, minyak, dan kekayaan alam lainnya, kepada para investor asing dengan harga murah, sehingga rakyat dirugikan trilyunan rupiah. Dimenangkannya Hess Ltd atas Pertamina di blok Semai V bukti nyata keberpihakan pejabat kepada asing yang telah menjadikan Pemerintah kehilangan pendapatan sampai 168 Trilyun. Bisa jadi ungkapan Gubernur Lemhanas, Muladi menjadi sebuah kenyataan ditengah-tengah kita. Semoga lekas tersadarkan. Wallahua'lam. [ Oleh Imam Sutiyono-Humas HTI Kota Cilegon]

PEMILU VS INTERVENSI ASING


       
        Setelah Australia sumbang 6 juta Dollar atau sekitar 43.2 Milyar rupiah, kini giliran Inggris memberikan hibah 1 juta Pond atau sekitar 19 Milyar rupiah untuk konsolidasi proses demokrasi pada Pemilu 2009 nanti. Pemerintah Inggris melalui Departemen Pembangunan Internasional menghibahkan 1 juta pound untuk mendukung dan meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2009. Dana hibah itu diterima Dubes Inggris untuk Indonesia, Martin Hatfull saat penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Indonesia yang diwakili Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hafiz Anshary di gedung Bappenas Jakarta.
Jumlah yang tidak sedikit, terlebih dalam kondisi perekonomian yang seperti ini. Sejumlah tanda tanya besar ada apa dibalik pemberian dari beberapa negara kapitalis asing ini? Kiranya tulisan kecil ini bisa menjadi sumbang saran dan perenungan bersama. Ibarat pepatah 'tidak ada makan siang gratis!'

Pemilu, sebuah perubahan?
        Sejak Pemilu digelar, baik pada masa orde lama, orde baru, hingga orde reformasi sekarang, sepertinya tidak ada tanda-tanda perubahan yang signifikan. Sejumlah masalah krusial dari tahun ke tahun tidaklah berubah. Dari masalah kemiskinan, kebodohan, pengangguran, kriminalitas, korupsi, illegal logging atau pembalakan liar, swastanisasi, dan lainnya, tetap menjadi masalah klasik bangsa ini.
        Puluhan tahun sudah merdeka, tetapi kemerdekaan yang didapat semu dalam aplikasi. Martabat bangsa entah ada dimana, karena moral pelaku dan penguasa negeri ini lebih berpihak kepada bukan rakyat, tetapi konglomerat. Lihatlah para pengemplang Danan BLBI yang merampok uang rakyat lebih dari 300 trilyun tidak tersentuh hukum. Atas nama HAM dan demokrasi, pornografi dan pornoaksi dibolehkan (lihat UU Pornografi; kebolehan atas nama seni dan budaya), padahal jutaan perempuan sudah menjadi korban-korban 'seni dan budaya ' asing.
        Pemilu juga hanya menghasilkan orang-orang baru dengan perilaku yang hampir sama dengan para penguasa sebelumnya. Lebih memprioritaskan investor asing dengan bendera liberalisasi dan swastanisasi. Hak-hak rakyat untuk mendapat manfaat dari sumber-sumber kekayaan alam yang melimpah hanya tinggal mimpi di siang bolong. Ibarat ayam yang mati dilumbung padi, sungguh ironis. Undang-undang yang dikeluarkan oleh DPR bermuatan asing, jauh dari keberpihakan pada rakyat jelata. UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, dan sebagainya.
        Disudut lain kezaliman pada saat orce lama dan rezim ode baru, muncul orde reformasi, akan tetapi justeru yang terjadi 'repot nasi', sama saja, mendulang pengangguran, menambah jumlah angka kemiskinan, dan kebijakan pro kapitalis yang penuh tipu muslihat. BLT seolah menjadi dewa penolong, padahal disisi lain subsidi yang sejatinya dimiliki rakyat malah semua dicabut dengan alasan perdagangan bebas internasional dan liberalisasi sektor publik. Rakyat dibodohi dengan sejumlah kampanye menyesatkan. Kenaikan BBM seolah 'benar' karena mendesak dan defisit APBN, padahal tidaklah seperti itu keadaannya, ada alternatif rasional lainnya yang tidak membebankan rakyat. Hingga kini kebijakan konversi energi (dari minyak tanah ke gas) masih menyisakan problema dan antrian pengguna minyak tanah diberbagai kota.
Lebih aneh dan mengherankan lagi, disaat harga minyak dunia melampau angka 150 US Dollar per barel, Pemerintah menaikkan hanya dalam hitungan hari. Sedangkan sekarang harga minyak dunia turun hingga mencampai angka 50-an US Dollar per barel, Pemerintah dengan setengah hati menurunkan harga premium hanya lima ratus rupiah (solar dan lainnya masih tidak berubah), itu pun dimulai awal bulan Desember nanti. Kenapa hanya lima ratus rupiah? Bukankah harga minyak dunia sudah seperti sebelum kenaikkan alias sama? Padahal kalau melihat negara tetangga Malaysia, bisa dengan sigap menurunkan harga minyak tanah tanpa menunggu dalam waktu yang cukup lama. Seberapa jauh Pemerintah sekarang benar-benar menyerap aspirasi dan keterbatasan rakyat miskin? Kiranya patut dijawab dengan kebijakan yang lebih santun dan proporsional.
Penjajahan modern
        Setiap bangsa mempunyai kebijakan luar negeri, bisa ke Blok Timur atau Barat. Indonesia yang memegang prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif ternyata tidak mampu menjaga eksistensinya. Menurut para pengamat, adanya kecenderungan pada setiap kurun pemerintahan yang berkuasa tidaklah independen. Bebas aktif hanya slogan, tapi minim dalam implementasi, lihatlah saat penguasa orde lama berkiblat kepada Blok Timur, berideologi sosialis, seperti Cina dan Rusia, kemudian orde baru hingga reformasi, mulai beralih ke Blok Barat, negara yang berideologi sekular-kapitalis, seperti Amerika, Inggris, dan lainnya. Jadi tidak pernah bebas aktif, tetapi lebih tepatnya ketergantungan terhadap bangsa lain, entah Blok Timur saat orde lama, maupun Blok Barat saat orde baru dan reformasi.
        Lebih lanjut, adanya intervensi negara lain, meski bertopeng dana pinjaman lunak, hibah, sumbangan dan sebagainya, ternyata membuat bangsa dan negeri ini terjebak dalam politik negara pemberi pinjaman atau hibah tadi. Masih ingat dalam nalar sadar, bahwa IMF dengan Word Bank yang telah 'membantu' Indonesia ketika krisis moneter, justeru semakin menjadikan bangsa ini kian terpuruk dengan sejumlah rekomendasi yang kalo ditelaah lebih lanjut hanya menguntungkan pihak asing. Swastanisasi atau dicabutnya subsidi merupakan rekomendasi IMF atau Word Bank yang terus menjadikan rakyat miskin terjepit. Bagaimanapun strategi bangsa lain dengan modal dana hibah atau yang lainnya, dipastikan ada sebuah kepentingan. Pepatah Inggris menyatakan 'No free lunch time' tidak ada makan siang gratis! Bisa jadi ini sebuah model penjajahan modern atau meminjam istilah lawan dari kebijakan Presiden Bush yang 'Hard power' menjadi 'Soft power'
        Mengamati sejumlah negara donor yang dengan dana yang tidak sedikit berbondong-bondong memberikan support pada Pemilu 2009 nanti, sudah bisa diperkirakan, sifat dan kebijakan penguasa nanti yang diharapkan sehaluan dengan pemberi dana tadi. Disinilah sebenarnya independensi Pemerintah dan lembaga didalamnya diuji dalam hal kemampuan dan kredibilitasnya untuk menjaga hal-hal prinsip dalam kenegaraan tanpa harus merasa ada timbal balik dari para negara donor atau bahkan kapitalis asing. Akan tetapi jika para penyelenggara negara ini terjebak dalam skenario bangsa lain atas nama dana hibah dan sebagainya, akan sangat sulit diharapkan bangsa ini bisa menuntaskan segala problema yang sampai detik ini tak juga kunjung reda.
        Fenomena negara Barat yang memberi konsentrasi pada Pemilu 2009 kepada Indonesia, semestinya disikapi dengan proporsional. Meski dengan dana yang terbatas, independensi mesti harus diprioritaskan. Ini juga sekaligus menjadi sebuah perenungan, dana yang besar pada setiap Pemilu bahkan juga Pilkada diberbagai kota dan kabupaten, ternyata tidak sebanding dengan hasil dari proses demokrasi itu. Belum lagi ada unsur ketidak setujuan dan penyimpangan. Patut kiranya diupayakan sebuah strategi baru untuk membenahi bangsa ini tidak harus dengan Pemilu.
Alternatif sistem kenegaraan yang ideal menjadi sebuah jawaban ketika dari Pemilu ke Pemilu hanya berganti orang dan penguasa, sementara kebijakan dan regulasi yang diterapkan jauh dari nilai-nilai fitrah manusia dan sangat mudah masuknya intervensi asing. Semua aturan yang dikeluarkan hanya menambah permasalahan baru disamping masalah pokok belum tertuntaskan. Disinilah sebetulnya urgensi edukasi politik dan kebangkitan kesadaran memikirkan nasib bangsa ini. Jika kritik plus solusi sudah ditawarkan, maka selebihnya kita pusatkan kepada aktivitas real ditengah masyarakat menuju ke arah perubahan yang hakiki dan lebih baik bukan sekedar ganti pemimpin dan orang. Wallahua'alam. [ Oleh Imam Sutiyono-Humas HTI Kota Cilegon]
       


Jumat, 07 November 2008

OBAMA DAN KEBIJAKAN AS


Dimuat di HU FAJAR BANTEN, Jumat, 7 Nov-08


        Akhirnya dunia bisa melihat, Barack Hussein Obama dari kubu Partai Demokrat mengungguli John McCain dari kubu Partai Republik. Ini merupakan prestasi bersejarah orang kulit hitam menduduki kursi nomer satu sebagai Presiden AS yang ke-44. Meski diterpa krisis global menuju kehancuran kapitalisme, dunia pun seolah beralih harapan dan tumpuan pada transisi kepemimpinan AS, terlebih dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih harmonis dan beradab.
        Akan tetapi benarkah Obama dapat memutar 180 derajat kebijakan AS selama ini yang double-standard? Atau seperti apa semestinya menyikapi kejadian ini? Apakah stick and carrot menjadi slogan yang tidak terpisahkan dalam episode gaib 'War Againts Terrorism' demi kepentingan kapitalisme global AS? Semoga tulisan ringkas ini bisa menjadi sumbang saran guna menajamkan pemikiran dan wawasan.

Fenomena Partai Demokrat AS
        Angin kebencian terhadap Bush dan kebijakan politik luar negeri yang tidak popular delapan tahun terakhir ini telah memberikan citra negatif terhadap kebebasan dan demokrasi Negara Paman Sam. Oleh karena itu setiap apun perubahan bisa jadi akan berdampak pada perubahan disisi yang lainnya. Begitu juga perubahan kepemimpinan AS dibawah tangan Obama. Apalagi dalam masa kampanye Pilpres nya pernah mengutarakan niatnya akan menarik pasukan AS dari wilayah Irak karena sudah dianggap tidak efektif lagi. Tetapi kemudian akan memindahkan penempatan pasukan tersebut ke wilayah Afghanistan dan Pakistan. Jadi hanya memindahkan permasalahan dari Irak ke tempat lainnya. Yang terjadi tetap pembantaian, penjajahan, dan eksploitasi negara yang diduduki. Sebenarnya ini hanya perubahan strategi sedangkan main stream nya tetap pada pokok imperialisme gaya baru bertopeng operasi penyelamatan dan mencari sarang teroris.
        Episode kapitalisme global AS dibawah Obama yang lahir dari rahim Partai Demokrat bisa jadi lebih cerewet berkaitan dengan isu-isu seperti Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan, dan sejenisnya. Ungkapan ini tidaklah mengada-ada, sebuah fakta pernah terjadi ketika para senator Amerika mengirimkan surat keberatan atas penangkapan dua orang Papua yang telah divonis oleh pengadilan. Dan mayoritas yang duduk di senat adalah dari Partai Demokrat. Bahkan disana ada kelompok para senat yang dijuluki Kaukus Papua yang berjuang dan berupaya memerdekakan dari NKRI. Ini bisa menjadi indikasi akan menguatnya intervensi AS terhadap Indonesia dimasa mendatang. Lagi-lagi Amerika merasa berhak mencampuri urusan negara lain. Negara lain tetap terkungkung dalam hegemoni dan kapitalisasi AS melalui para kapital asing.
        Sedangkan dari aspek moralitas, Partai Demokrat adalah partai pengusung ide-ide kebebasan atau liberalisme. Oleh karena itu bukan hal yang mustahil Amerika sebagai kampium demokrasi akan memberikan dukungan langsung ataupun tersembunyi terhadap upaya-upaya dari kelompok gay, lesbian, homoseksual, pornografi, pornoaksi untuk mengaktualisasikan diri serta kelompoknya dalam ranah kehidupan. Bukan hal aneh juga ketika kasus insiden Monas 1 Juni lampau, konsulat AS di Jakarta merasa perlu menengok korban kekerasan tersebut. Bisa jadi ini menjadi salah satu dukungan real eksistensi aliran sesat Ahmadiyah. Dukungan ini semakin lebih kuat jika semua perangkat undang-undang yang dikeluarkan Pemerintah atau DPR berpihak pada kelompok tersebut. Undang-undang yang berbau liberalisasi dan kapitalisasi sangat disukai Amerika dan LSM Kompradornya. Sayangnya fenomena ini sangat jarang terdeteksi padar analis atau pengamat politik.
        Lebih lanjut seorang Obama bukanlah Amerika, artinya berubahnya Presiden AS tidak secara otomatis seluruh kebijakan akan berubah total. Kalaulah semua orang berharap banyak pada Presiden Obama, sepertinya patut direnungkan. Karena Amerika adalah sebuah negara dengan struktur Pemerintahan dan kebijakan yang permanen. Sedangkan haluan politik pemerintah didominasi oleh para senator bukan personal presiden semata. Haluan politik Amerika adalah imperialisme modern dan eksploitasi kekayaan alam terhadap negara-negara yang dibawah tekanan AS.

Obama; Pro-Israel

        Kiranya agar lebih menukik lagi tentang analisis kebijakan Pemerintah AS dimasa mendatang, bisa disimak beberapa petikan yang pernah diungkapkan Obama dalam kampanye Presiden diantaranya masih kuatnya dukungan AS akan sekutunya Israel, terlebih menekankan keamanan Israel dan keberlangsungan masyarakatnya di jantung Islam, Palestina. Berikut salah satu petikan tersebut: "Saya berjanji kepada Anda bahwa saya akan melakukan apapun yang saya bisa dalam kapasitas apapun untuk tidak hanya menjamin kemanan Israel tapi juga menjamin bahwa rakyat Israel bisa maju dan makmur dan mewujudkan banyak mimpi yang dibuat 60 tahun lalu," kata Obama dalam sebuah acara yang disponsori oleh Kedutaan Besar Israel di Washington untuk menghormati hari jadi negara Israel yang ke-60. Dia diperkenalkan oleh duta besar Israel kepada AS, Sallai Meridor.

        Dunia sudah paham dan mengerti sejak tahun 1948, Israel merebut tanah Palestina dan membantai rakyatnya hingga kini. Tetapi dari putaran Pilpres AS dan bergantinya pemimpin disana, tidak mengubah kebijakan yang pro-Israel. Bandingkan ketika alasan yang irrasional AS berulang-kali melakukan hak veto ketika sanksi PBB akan dijatuhkan kepada Israel yang nyata-nyata melakukan kejahatan perang dan tindakan tidak manusiawi. Begitu saja, sungguh ironis, ketika invasi AS ke Irak, tanpa persetujuan PBB, hingga kini tetap berlangsung dengan jumlah korban rakyat Irak yang tidak sedikit sekaligus menanggung derita berkepanjangan akibat aneksasi tidak beradab dari pasukan sekutu pimpinan AS.

        Sebaliknya terhadap pembelaan yang dilakukan oleh kalangan masyarakat Palestina dan para intifadhah (pejuang), Obama menyebut mereka dengan sebutan hina berupa teroris. Lihatlah petikan "Saya sudah mengatakan bahwa mereka adalah organisasi teroris, yang tidak boleh kita ajak negosiasi kecuali jika mereka mengakui Israel, meninggalkan kekerasan, dan kecuali mereka mau diam oleh perjanjian sebelumnya antara Palestina dan Israel." Jadi tidak ada perbedaan yang berarti dari seorang Bush dan Obama dalam hal menyikapi penindasan Israel diatas tanah suci Palestina yang sudah berjalan 60 tahun! Setali tiga uang, siapapun Presiden AS, penindasan oleh Israel dan diskriminasi manusia terus terjadi tetapi tetap direstui!

        Oleh karena itu mencurahkan tumpuan kepada seorang Obama untuk merubah perilaku AS dan segala kebijakan dunia saat ini, adalah sebuah hal yang tidak semestinya. Diperlukan kepemimpinan ideologis lain disaat AS dengan ideologi sekular kapitalisme tidak bisa menjawab problema masyarakat dunia. Idologi kapitalisme terbukti biang krisis dan resesi global saat ini, sedangkan ideologi sekular telah menjadikan manusia keluar dari jati diri atau fitrahnya yang beradab. Dan adanya status quo yang pro AS, lebih tepatnya lagi pro sekular dan pro kapitalisme, justeru akan memperpanjang sejarah kekerasan AS dan melanjutkan kejahatan atas peradaban manusia. Beralih kepada ideologi lain maksudnya adalah syariah yang sejatinya sesuai dengan fitrah manusia dan menentramkan jiwa. Kalo dalam histori terbukti 1500 tahun eksis peradaban dunia dengan syariah serta sekaligus yang menjadi solusi fundamental dan faktual tanpa diskriminasi maupun penindasan, kenapa tidak beralih kepemimpinan dunia ini menuju kesana? Wallahua'alam.

Oleh Imam Sutiyono-Humas HTI Kota Cilegon

       

SYARIAH, PASKA KAPITALISME TUMBANG



[dimuat HU BANTEN RAYA POST, 21 Okt'08]


        Gonjang-ganjing resesi global sepertinya terus berkembang, bak bola panas akan menerjang siapa saja. Setelah raksasa investasi di Amerika, Lehman Brother Holding Inc. dinyatakan pailit dan DPR AS atas saran Menkeu Henry Paulson menyalurkan 700 miliar dollar AS sebagai upaya penyelamatan, ternyata krisis tidak kunjung mereda. Kepanikan dan tindakan irrasional juga dilakukan oleh para kepala Negara di berbagai wilayah yang pada intinya tetap melanggengkan krisis dengan tetap menjalankan bursa di pasar modal.
        Keadaan krisis global ternyata berimbas kepada Indonesia, yang pada pekan lalu sempat menutup Bursa Efek Indonesia (BEI) dikarenakan indeks terus melorot tajam. Berbagai upaya pemulihan dan peningkatan ketahanan fundamental ekonomi pun mulai dipikirkan. Sidang-sidang Kabinet pun mulai marak digelar, bahkan melibatkan juga para kepala daerah atau gubernur untuk meminimalisir dampak  resesi global yang dimulai dari Paman Sam ini.
        Melihat fenomena akan kematian Kapitalisme ini, bagaimana semestinya bersikap dan berbuat? Semoga tulisan ringkas ini dapat membuka wawasan, tentu dengan tidak menutup kemungkinan ada sumbang saran lainnya.

Kapitalisme global yang mengigit
        Disadari atau tidak, Kapitalisme yang diusung Amerika dan Negara Barat lainnya, telah mencemaskan dunia. Dalam arti telah menimbulkan malapetaka kemanusiaan. Tentu dilihat baik dari sisi politik, ekonomi maupun budaya.

        Dari segi politik, Kapitalisme telah mengandeng slogan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi telah mengekspor penindasan serta pembunuhan. Jamil Salmi dalam violence and democatic society mencatat negara Paman Sam ini antara tahun 1945 sampai 2001 saja sudah melakukan 218 kali intervensi terhadap negara lain. Amerika juga merupakan otak kudeta berdarah di berbagai negara. Genocide atas nama demokrasi dan perang melawan terorisme juga telah menimbulkan korban sipil yang sangat besar di Irak dan Afghansitan. Paska pendudukan AS, korban rakyat sipil Irak hampir mencapai angka 1 juta orang.

Negara yang mengaku globo cop, AS memang haus darah dan mesin pembunuh. John Pike dari www.GlobalSecurity.org, sebuah grup riset, tentara Amerika menghamburkan 250.000 peluru untuk menembak mati tiap seorang gerilyawan. Biaya perang demikian besar. Staf Partai Demokrat di Kongres menghitung dari 2002 sampai 2008, perang yang lebih panjang dibanding Perang Dunia kedua itu, menghabiskan 1,3 trilyun dollar.

Menurut Salmi AS juga merupakan pendukung pemerintah represif di berbagai negara. Mendukung pemerintahan Syah Reza Pahlevi di Iran yang dikenal diktator, raja-raja Arab yang represif, termasuk di masa orde pemerintahan sebelumnya. Paska perang dingin negara ini mendukung Musharaf penguasa diktator Pakistan yang kemudian dilengserkan oleh rakyatnya , Husni Mubarak di Mesir, atau Karimov di Uzbekistan. Tidak boleh dilupakan juga AS merupakan pendukung setia rezim teroris Israel yang hingga kini secara sistematis membunuh kaum muslim di Palestina.

Lebih lanjut dari sudut ekonomi, Kapitalisme telah berbuat 'semaunya' dalam arti mengeksploitasi kekayaan alam negara-negara berkembang, termasuk Indonesia didalamnya. Amerika dengan berbagai perusahaan raksasa dunia, telah mencengkram kapitalisasi di berbagai lini. Sumber-sumber alam sangat potensial dan produktif dimilikinya atas nama liberalisasi. Lihatlah banyak perusahaan besar bercokol di negeri ini yang semuanya berbendera Paman Sam. Sementara negeri yang didiaminya hanya diberikan luapan limbah dan tanah yang semakin gersang. Sungguh tragis dan memilukan.

Dalam realita yang sangat jelas, ekonomi Kapitalisme telah menjadikan kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Di Indonesia saja, jurang itu semakin melebar. Puluhan juta rakyat Indonesia terjebak pada penghidupan orang yang berpenghasilan dibawah satu dolar, sementara disisi lain, terdapat ribuan orang yang hanya sekedar makan saja bisa mencapai ratusan ribu atau puluhan dolar. Ini sebuah fakta yang tidak terbantahkan.

Dibidang budaya, kapitalisme telah mencampakan nilai-nilai luhur fitri manusia. Dengan asas manfaat, kapitalisme telah menodai norma-norma agama yang semestinya dijunjung tinggi. Dengan alasan budaya, pornografi dan pornoaksi seolah tak terbendung. Orang-orang sekular dan liberal terus menjunjung panji-panji kebebasan dan budaya yang sebenarnya hanya topeng, padahal sejatinya menginjak-injak norma luhur agama dan ideologi (baca Islam). Secara bawah sadar bisa jadi telah menjadi komprador atau bahkan antek asing untuk terus mengerus ajaran agama, harkat dan martabat bangsa dengan simbol-simbol hampa liberalisme dan pluralisme. Inilah bukti kongkret kapitalisme telah menjadi virus dalam kebudayaan dan peradaban. Tarik menarik dan molornya pembahasan RUU APP yang sekarang menjadi RUU Pornograsi bisa jadi sinyalemen itu.

Karena dampak itu semua, kapitalisme sebagai ideologi yang tidak sesuai fitrah manusia dan akal sehat, akhirnya menuju detik-detik kematiannya. Bukan tidak mungkin, sebentar lagi kapitalisme yang pernah berjaya hanya puluhan tahun saja pamit dari dunia ini menyubur temannya sosialisme-komunisme yang sudah lama terkubur.

Syariah akhir peradaban

        Banyak para orientalis dan pemikir barat masih meragukan syariah sebagai solusi atas krisis ini. Akan tetapi tidak sedikit juga para analis masih mengantungkan harapan kepada syariah terlebih institusi Islam, Khilafah. Sebagaimana pernah diprediksi oleh National Intelegent Council –Amerika, tahun 2020 Khilafah akan berdiri setelah kapitalisme tumbang. Boleh jadi analisis NIC akan lebih cepat terbukti dengan berbagai indikasi resesi ekonomi dunia semakin mengila hingga detik ini.

        Tumbangnya kapitalisme akan membuktikan kepada dunia, hanya Islam alternatif sebagai pilihan terakhir. Kembali kepada institusi Khilafah Islam sebagaimana pernah memimpin peradaban dunia hingga lebih dari 1500 tahun sejak 600an hingga1924. Dunia pun akan membuka matanya, bahwa Islam yang sesuai fitrah manusia dan akal sehat akan mampu memberikan jawaban atas semua problem yang ada. Dari resesi global dengan solusi meninggalkan riba, judi di valas, mata uang berbasis emas dan perak, dan segudang manajemen ekonomi syariah yang handal dan tahan terhadap krisis.

Oleh Imam Sutiyono-HUMAS HTI Cilegon