Kamis, 27 November 2008

PEMILU VS INTERVENSI ASING


       
        Setelah Australia sumbang 6 juta Dollar atau sekitar 43.2 Milyar rupiah, kini giliran Inggris memberikan hibah 1 juta Pond atau sekitar 19 Milyar rupiah untuk konsolidasi proses demokrasi pada Pemilu 2009 nanti. Pemerintah Inggris melalui Departemen Pembangunan Internasional menghibahkan 1 juta pound untuk mendukung dan meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2009. Dana hibah itu diterima Dubes Inggris untuk Indonesia, Martin Hatfull saat penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Indonesia yang diwakili Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hafiz Anshary di gedung Bappenas Jakarta.
Jumlah yang tidak sedikit, terlebih dalam kondisi perekonomian yang seperti ini. Sejumlah tanda tanya besar ada apa dibalik pemberian dari beberapa negara kapitalis asing ini? Kiranya tulisan kecil ini bisa menjadi sumbang saran dan perenungan bersama. Ibarat pepatah 'tidak ada makan siang gratis!'

Pemilu, sebuah perubahan?
        Sejak Pemilu digelar, baik pada masa orde lama, orde baru, hingga orde reformasi sekarang, sepertinya tidak ada tanda-tanda perubahan yang signifikan. Sejumlah masalah krusial dari tahun ke tahun tidaklah berubah. Dari masalah kemiskinan, kebodohan, pengangguran, kriminalitas, korupsi, illegal logging atau pembalakan liar, swastanisasi, dan lainnya, tetap menjadi masalah klasik bangsa ini.
        Puluhan tahun sudah merdeka, tetapi kemerdekaan yang didapat semu dalam aplikasi. Martabat bangsa entah ada dimana, karena moral pelaku dan penguasa negeri ini lebih berpihak kepada bukan rakyat, tetapi konglomerat. Lihatlah para pengemplang Danan BLBI yang merampok uang rakyat lebih dari 300 trilyun tidak tersentuh hukum. Atas nama HAM dan demokrasi, pornografi dan pornoaksi dibolehkan (lihat UU Pornografi; kebolehan atas nama seni dan budaya), padahal jutaan perempuan sudah menjadi korban-korban 'seni dan budaya ' asing.
        Pemilu juga hanya menghasilkan orang-orang baru dengan perilaku yang hampir sama dengan para penguasa sebelumnya. Lebih memprioritaskan investor asing dengan bendera liberalisasi dan swastanisasi. Hak-hak rakyat untuk mendapat manfaat dari sumber-sumber kekayaan alam yang melimpah hanya tinggal mimpi di siang bolong. Ibarat ayam yang mati dilumbung padi, sungguh ironis. Undang-undang yang dikeluarkan oleh DPR bermuatan asing, jauh dari keberpihakan pada rakyat jelata. UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, dan sebagainya.
        Disudut lain kezaliman pada saat orce lama dan rezim ode baru, muncul orde reformasi, akan tetapi justeru yang terjadi 'repot nasi', sama saja, mendulang pengangguran, menambah jumlah angka kemiskinan, dan kebijakan pro kapitalis yang penuh tipu muslihat. BLT seolah menjadi dewa penolong, padahal disisi lain subsidi yang sejatinya dimiliki rakyat malah semua dicabut dengan alasan perdagangan bebas internasional dan liberalisasi sektor publik. Rakyat dibodohi dengan sejumlah kampanye menyesatkan. Kenaikan BBM seolah 'benar' karena mendesak dan defisit APBN, padahal tidaklah seperti itu keadaannya, ada alternatif rasional lainnya yang tidak membebankan rakyat. Hingga kini kebijakan konversi energi (dari minyak tanah ke gas) masih menyisakan problema dan antrian pengguna minyak tanah diberbagai kota.
Lebih aneh dan mengherankan lagi, disaat harga minyak dunia melampau angka 150 US Dollar per barel, Pemerintah menaikkan hanya dalam hitungan hari. Sedangkan sekarang harga minyak dunia turun hingga mencampai angka 50-an US Dollar per barel, Pemerintah dengan setengah hati menurunkan harga premium hanya lima ratus rupiah (solar dan lainnya masih tidak berubah), itu pun dimulai awal bulan Desember nanti. Kenapa hanya lima ratus rupiah? Bukankah harga minyak dunia sudah seperti sebelum kenaikkan alias sama? Padahal kalau melihat negara tetangga Malaysia, bisa dengan sigap menurunkan harga minyak tanah tanpa menunggu dalam waktu yang cukup lama. Seberapa jauh Pemerintah sekarang benar-benar menyerap aspirasi dan keterbatasan rakyat miskin? Kiranya patut dijawab dengan kebijakan yang lebih santun dan proporsional.
Penjajahan modern
        Setiap bangsa mempunyai kebijakan luar negeri, bisa ke Blok Timur atau Barat. Indonesia yang memegang prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif ternyata tidak mampu menjaga eksistensinya. Menurut para pengamat, adanya kecenderungan pada setiap kurun pemerintahan yang berkuasa tidaklah independen. Bebas aktif hanya slogan, tapi minim dalam implementasi, lihatlah saat penguasa orde lama berkiblat kepada Blok Timur, berideologi sosialis, seperti Cina dan Rusia, kemudian orde baru hingga reformasi, mulai beralih ke Blok Barat, negara yang berideologi sekular-kapitalis, seperti Amerika, Inggris, dan lainnya. Jadi tidak pernah bebas aktif, tetapi lebih tepatnya ketergantungan terhadap bangsa lain, entah Blok Timur saat orde lama, maupun Blok Barat saat orde baru dan reformasi.
        Lebih lanjut, adanya intervensi negara lain, meski bertopeng dana pinjaman lunak, hibah, sumbangan dan sebagainya, ternyata membuat bangsa dan negeri ini terjebak dalam politik negara pemberi pinjaman atau hibah tadi. Masih ingat dalam nalar sadar, bahwa IMF dengan Word Bank yang telah 'membantu' Indonesia ketika krisis moneter, justeru semakin menjadikan bangsa ini kian terpuruk dengan sejumlah rekomendasi yang kalo ditelaah lebih lanjut hanya menguntungkan pihak asing. Swastanisasi atau dicabutnya subsidi merupakan rekomendasi IMF atau Word Bank yang terus menjadikan rakyat miskin terjepit. Bagaimanapun strategi bangsa lain dengan modal dana hibah atau yang lainnya, dipastikan ada sebuah kepentingan. Pepatah Inggris menyatakan 'No free lunch time' tidak ada makan siang gratis! Bisa jadi ini sebuah model penjajahan modern atau meminjam istilah lawan dari kebijakan Presiden Bush yang 'Hard power' menjadi 'Soft power'
        Mengamati sejumlah negara donor yang dengan dana yang tidak sedikit berbondong-bondong memberikan support pada Pemilu 2009 nanti, sudah bisa diperkirakan, sifat dan kebijakan penguasa nanti yang diharapkan sehaluan dengan pemberi dana tadi. Disinilah sebenarnya independensi Pemerintah dan lembaga didalamnya diuji dalam hal kemampuan dan kredibilitasnya untuk menjaga hal-hal prinsip dalam kenegaraan tanpa harus merasa ada timbal balik dari para negara donor atau bahkan kapitalis asing. Akan tetapi jika para penyelenggara negara ini terjebak dalam skenario bangsa lain atas nama dana hibah dan sebagainya, akan sangat sulit diharapkan bangsa ini bisa menuntaskan segala problema yang sampai detik ini tak juga kunjung reda.
        Fenomena negara Barat yang memberi konsentrasi pada Pemilu 2009 kepada Indonesia, semestinya disikapi dengan proporsional. Meski dengan dana yang terbatas, independensi mesti harus diprioritaskan. Ini juga sekaligus menjadi sebuah perenungan, dana yang besar pada setiap Pemilu bahkan juga Pilkada diberbagai kota dan kabupaten, ternyata tidak sebanding dengan hasil dari proses demokrasi itu. Belum lagi ada unsur ketidak setujuan dan penyimpangan. Patut kiranya diupayakan sebuah strategi baru untuk membenahi bangsa ini tidak harus dengan Pemilu.
Alternatif sistem kenegaraan yang ideal menjadi sebuah jawaban ketika dari Pemilu ke Pemilu hanya berganti orang dan penguasa, sementara kebijakan dan regulasi yang diterapkan jauh dari nilai-nilai fitrah manusia dan sangat mudah masuknya intervensi asing. Semua aturan yang dikeluarkan hanya menambah permasalahan baru disamping masalah pokok belum tertuntaskan. Disinilah sebetulnya urgensi edukasi politik dan kebangkitan kesadaran memikirkan nasib bangsa ini. Jika kritik plus solusi sudah ditawarkan, maka selebihnya kita pusatkan kepada aktivitas real ditengah masyarakat menuju ke arah perubahan yang hakiki dan lebih baik bukan sekedar ganti pemimpin dan orang. Wallahua'alam. [ Oleh Imam Sutiyono-Humas HTI Kota Cilegon]
       


Tidak ada komentar: